Senin, 20 Maret 2017

Pelanggaran Hak Asasi Manusia



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia atau HAM adalah hak-hak yang sudah dipunyai oleh seseorang sejak ia masih dalam kandungan. Hak asasi manusia dapat berlaku secara universal. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, dibentuklah sebuah organisasi dunia yang dikenal dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan menjaga kondisi keamanan dunia, sehingga pada tahun 1948, dicapailah sebuah konsensus terkait deklarasi universal HAM, isi dari deklarasi tersebut yakni : Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam Pasal 29 (1): “Semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat di mana hanya di dalamnya perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan”. Instrumen-instrumen yang dikeluarkan setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi kewajiban.[1]

1.2  RUMUSAN MASALAH
                                i.            Definisi Hak Asasi Manusia (HAM)
                              ii.            Jenis-jenis Hak Asasi Manusia
                            iii.            Jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia
                            iv.            Contoh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia

1.3  TUJUAN PENULISAN
                                i.            Mengetahui pengertian , jenis Hak Asasi Manusia
                              ii.            Mengetahui jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia
                            iii.            Menginformasikan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
                            iv.            Memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan


BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 LANDASAN TEORI
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama. Dengan pengakuan akan prinsip dasar tersebut, setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asai manusia. Jadi keasadaran akan adanya hak asai manusia tumbuh dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat. Hak asasi manusia wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi Manusia diatur secara kongkrit dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Pemerintah turut meratifikasi, dan menerapkan sebuah peraturan perundang-undangan  terkait perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia, yakni diwujudkan dalam Undang-undang No 39 tahun 1999  Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

A.    JENIS-JENIS HAK ASASI MANUSIA
                    i.            Hak-hak asasi pribadi (Personal Rights) meliputi :
·         Kebebasan menyatakan pendapat
·         Kebebasan memeluk agama
·         Kebebasan bergerak
                  ii.            Hak-hak asasi ekonomi (Proporty Rights) meliputi :
·         Kebebasan memiliki sesuatu,membeli,menjual, serta memanfaatkan
·         Hak mendapat tujangan hidup bagi orang miskin dan anak terlantar
                iii.            Hak-hak asasi politik (Political Rights) meliputi :
·         Hak ikut serta dalam pemerintahan
·         Hak pilih (dipilih dan memilih) dalam pemilihan umum
·         Hak mendirikan partai politik,ormas,dan organisasi lainnya

                iv.            Hak-hak asasi hokum (Rights of Logal Equality) meliputi :
·         Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
·         Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam pemerintahan
                  v.            Hak-hak asasi social dan kebudayaan (Social and Cultural Rights) meliputi :
·         Hak memperoleh jaminan pendidikan dan kesehatan
·         Hak mengembangkan kebudayaan
                vi.            Hak-hak asasi dalam tata cara peradilan dan perlindungan (Prosedural Rights) meliputi :
·         Hak mendapat perlakuan dan tata cara perdilan
·         Hak perlindungan dalam hal penangkapan, penahanan, penyitaan ,penggeledahan atau peradilan.

B.     JENIS – JENIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas suatu Negara. Pelanggaran hak asasi manusia berkaitan dengan norma atau instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, dengan instrumen-instrumen hukum nasional.Keterkaitan antara instrument internasinal hak asasi manusia dengan hokum nasional inilah yang membedakan apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hokum biasa. di kalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan umum dalam mendefinisikan pelanggaran hak asasi manusia itu sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrument instrumen internasional hak asasi manusia”. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (acts of ommission). Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak asasi manusia adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional”.  Inilah yang membedakan pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hukum biasa.

            Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia dibedakan berdasarkan :
1.      Pelanggaran HAM yang berat
Berikut adalah penjelasan mengenai kasus pelanggaran HAM yang berat :
·         Pembunuhan secara sewenang-wenang yang tidak mengikuti keputusan pengadilan dan hukum yang berlaku secara umum.
·         Melakukan segala bentuk penyiksaan.
·         Melakukan sistem perbudakan dan diskriminasi secara sistematis.
·         Pembunuhan secara massal.
·         Menghilangkan seseorang secara paksa.
2.       Pelanggaran HAM yang ringan
Berikut adalah penjelasan mengenai kasus pelanggaran HAM yang ringan :
·         Melakukan penganiayaan.
·         Melakukan tindakan yang dapat mencemarkan nama baik seseorang.
·         Melakukan segala bentuk pemukulan.
·         Menghalangi jalan seseorang untuk menyampaikan aspirasinya.
Dari pengertian dan pejelasan diatas maka penulis mengambil studi kasus tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang termasuk dalam kasus penggaran HAM berat karena kasus ini meliputi pembunuhan sewenang-wenang , melakukan penyiksaan dan pembunuhan missal yang disebabkan oleh perlakuan aparat kepolisiandan TNI.

A.    STUDI KASUS
Bagaimana terjadinya konflik antara penembakan yang terjadi di Paniai,Papua pada tahun 2014 oleh aparat kepololisian(POLRI) dan TNI kepada warrga sekitar, serta upaya apa yang dilakukan untuk menghentikan konflik tersebut.




BAB III
PEMBAHASAN
3.2 KONFLIK YANG TERJADI PADA PANIAI
Paniai merupakan salah satu kabupaten di Papua yang berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Pada zaman Belanda, Paniai disebut Wissel Meeren, sesuai dengan nama tiga danau yang terletak di sekitar Kota Enarotali. Danau ini ditemukan oleh seorang pilot berkebangsaan Belanda, Wissel, pada tahun 1938. Wilayah Paniai berbatasan dengan Kabupaten Waropen di sebelah utara, Mimika di sebelah selatan, Nabire di sebelah barat, dan Puncak Jaya di sebelah timur. Luas wilayahnya 18.104,63 km2 dengan Enarotali sebagai ibu kotanya. Pada awalnya Papua adalah daerah yang damai, tidak ada konflik yan terjadi, akan tetapi baru-baru ini terguncang oleh penembakan dan terror-teror misterius. Awal mulanya Papua melakukan perlawanan dikarenakan represi militer dan terjadinya keadaan ekonomi yang terus memperburuk.
a.      Sejarah singkat konflik di Papua
Tahun 1945 saat Indonesia merdeka Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda adalah masuk dalam NKRI, namun saat itu Belanda mengaku Papua masih merupakan daerah kekuasaanya. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) disepakati salah satu isinya adalah tentang penyerahan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahan Belanda pada Indonesia, kecuali Irian Barat. Tetapi saat itu pemerintah Indonesia bersikeras untuk mengembalikan Papua ke dalam NKRI.
Kemudian diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda yang menghasilkan New Yowk Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Inti dari perjanjian itu adalah Belanda akan menyerahkan Papua ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian UNTEA akan menyerahkan Papua ke Indonesia selama 6-8 bulan lalu diadakan referendum, bahwa setiap orang dewasa, laki-laki maupun perempuan asli Papua, memiliki hak pilih atas referendum tersebut. Hal ini menentukan apakah Papua akan ikut dengan Indonesia atau lepas dan berdiri sendiri menjadi sebuah Negara.
Tetapi dalam prakteknya, Act of Free Choice atau PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang dilakukan tidak dilaksanakan sesuai aturan Internasional melainkan dengan aturan Indonesia (musyawarah). Seharusnya jika menurut New York Agreement, PEPERA dilakukan dengan cara one man one vote tetapi dalam pelaksanaanya dilakukan dengan cara perwakilan (musyawarah). Hal ini lah yang sampai sekarang disayangkan oleh warga Papua dan terus menyuarakan ketidakadilan atas hal itu.
Awalnya saat bergabung dengan Indonesia, provinsi ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan berubah menjadi Irian Jaya (1973-2001). Nama “Iryan” di perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september 1945, yang dalam bahasa Biak Numfor berarti sinar matahari atau tanah yang panas (the hot land) barulah oleh presiden Abdul Rahman Wahid pada 1 Januari 2000, nama Provinsi Papua kemudian dilegalkan melalui UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, dan sejak 10 November 2004 dengan keputusan MahkamahKonstitusi No 018/PUU-I/2003 area ini terdiri dari dua Provinsi: Provinsi Papua Barat dan Papua yang terdiri dari 29  daerah pemerintahan dan dua kota praja. Provinsi papua memiliki luas 427,981 km2dan terletak di koordinat 1300 -1410 lintang timur, dan2,250utara - 90 selatan.
Sudah dari tahun ke tahuan konflik di Papua dapat dikatakan sebagai konflik yang terus memanas, sering terjadi bentrokan atau permasalahan antar suku suatu distrik / wilayah, antara warga local dengan aparat keamanan Negara seperti tentara, polisi maupun kepala pemerintahan. Untuk kali ini penulis akan membahas tentang konflik – konflik yang terjadi di Papua tepatnya di Paniai. Mencuatnya konflik di Papua juga didorong oleh pendekatan keamanan yang represif. Represif sendiri memiliki arti  suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Atau, merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi seperti melakukan penahan,penangkapan. Di kasus kali ini terjadinya penganiayaan dan penyiksaan oleh aparat militer dan polisi  terhadap 3 orang anak warga local yang masi remaja. Penembakan itu dilatar belakangi oleh penganiayaan yang diduga dilakukan oknum aparat keamanan terhadap sejumlah pemuda di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, sekitar pukul 00.30. Oknum aparat tersebut tidak terima ditegur karena melewati tempat itu dengan mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu. Seorang pemuda harus menjalani perawatan di rumah sakit akibat terkena pukulan dan tikaman dari anggota aparat, dan salah seorang lagi kabur melarikan diri untuk mengadukan tindakan tersebut kepada Sekretaris Distrik (Sekdis) Paniai Timur.
Pada keesokan harinya Kapolres Paniai mendatangi tempat kejadian pemukulan dan penganiayaan tersebut. Lalu penduduk desa setempat menganggap mereka bertanggung jawab atas penyiksaan dan penganiayaan terhadap tiga anak tersebut, karena mereka menggunakan kendaraan yang sama dengan kendaraan yang digunakan pada saat malam sebelumnya, dan mulai melemparkan batu ke polisi. Namun setelah adanya perbincangan dari Bupati setempat, ketegangan mereda dan penduduk setempat memberhentikan tindakan mereka.
Tetapi ketegangan terjadi lagi, setidaknya sekitaran 800 warga berbondong-bondong berkumpul di lapangan Karel Bonay di depan Polres Enarotali dan Komando Rayon Militer (Koramil) untuk menuntut penjelasan atas kejadian malam sebelumnya. Para warga melakukan sebuah tarian waita, yaitu tarian tradisional warga Papua yang digambarkan sebagai rasa kekecewaan serta keluh kesah mereka. Tetapi tarian tersebut disambut dengan sangat tidak mengenakkan oleh Komando Rayon Militer (Koramil) Paniai Timur, ia melepaskan tembakan secara brutal kepada kerumunan warga dan tembakan tersebut diikutsertakan juga oleh gabungan TNI atau POLRI tanpa ada tembakan peringatan dan tembakan pertama dikenakan kepada seorang Satpam RSUD Paniai. Wargapun tak dapat membendung tembakan yang terjadi oleh karena itu mereka berbondong-bondong melarikan diri ada juga yang memanjat pagar atau bersembunyi. Aksi tersebut seolah-olah member ruang kepada anggota TNI maupun POLRI untuk terus menembaki secara brutal kepada warga-warga setempat. Atas aksi tersebut banyak warga yang menjadi korbannya, ada yang mengalami luka-luka diakibatkan oleh tembakan yang megenai tangan ataupun kaki, ada juga yang sampai kehilangan nyawanya atas aksi yang tidak beradab tersebut. Total jumlah korban yang meninggal ada 6 orang serta yang mengalami luka-luka terdapat 22 orang.
Ada beberapa tanggapan dari kedua belah pihak yang saling bertentangan, seperti menurut Jenderal Gatot Nurmantyo penembakan itu terjadi dimulai oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari pegunungan sekeliling. Akan tetapi menurut Dr Otto Nur Abdullah, yang mengepalai tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyelidiki penembakan pada 8 Desember saat itu, menyatakan bahwa ini adalah mustahil karena gunung-gunung tersebut letaknya sangat jauh drai tempat kejadian perkara. Menurut dia, bahwa anggota militer dari Timsus 753 yang bertanggung jawab atas penembakan saat itu.
Pada tanggal 15 Desember, Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) mengatakan kepada media Indonesia bahwa ketika penyelidikan atas insiden ini sedang berlangsung, masyarakat setempat Papua sudah membuat kesepakatan dengan militer dan polisi sesuai dengan cara-cara adat dengan melakukan upacara adat bakar batu. Pemimpin gereja dan masyarakat setempat mengutuk pengumuman itu dan menyatakan bahwa memang tidak ada kesepakatan seperti itu dan pernyataan itu hanya meningkatkan kemarahan lebih lanjut di antara keluarga korban. Kepala Dewan Adat Papua (DAP) di Paniai, Jhon Gobay, mengatakan kepada Majalah Selangkah bahwa pernyataan seperti itu mewakili upaya sistematis oleh Negara Indonesia untuk menyembunyikan situasi dan untuk melepaskan diri dari mengambil tanggung jawab atas penembakan 8 Desember.
Komnas HAM telah meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan bersama yang terdiri dari tentara, polisi, tokoh-tokoh tradisional Papua dan Komnas HAM. Human Rights Watch Indonesia dan Imparsial juga meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan bersama, untuk memastikan bahwa penyidik dapat mempertanyakan aparat militer yang hadir saat kejadian. Human Rights Watch juga meminta pemerintah Indonesia untuk melindungi saksi yang hadir pada penembakan 8 Desember, mencatat bahwa laporan awal oleh Komnas HAM menunjukkan bahwa saksi “tidak mau bersaksi” karena kekhawatiran akan kemungkinan pembalasan. Sebuah artikel Suara Papua melaporkan bahwa masyarakat setempat mengalami trauma akibat penembakan dan bahwa hampir seminggu setelah peristiwa itu, kehadiran berat anggota aparat keamanan yang bersenjata masih bisa ditemukan di Enarotali[2].

b.      Pelanggaran yang terjadi
Konflik dapat didefinisikan sebagai relasi yang menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang dimilik atau yang dirasa oleh dua belah pihak. Muscat mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. onflik menurutnya ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup mencolok antar dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang  disebabkan oleh politik, etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan dan ekonomi yang bisa menggeliminasi kemiskinan.
Sementara William J.Dixon mengkategorikan konflik dalam dua hal pokok, pertama, konflik timbul dari pengakuan bersama atas kepentingan dan nilai-nilai dasar yang saling berbenturan; kedua, konflik merupakan gambaran yang sangat jelas dari hubungan sosial. Konflik yang berlangsung terus menerus dalam suatu negara bisa disebabkan dengan adanya krisis dalam pemerintahan termasuk tidak adanya tujuan perdamaian dalam resolusi konflik, kebijakan yang lumpuh(policy paralysis) dan krisis kemanusiaan yang hebat.
Melalui penjabaran masalah yang sudah dijelaskan tadi dapat diketahui pelanggaran HAM ini dilakukan oleh aparat Negara (TNI dan POLRI). Serta salah seorang yang dianggap penting yaitu MENKOPULHAM seolah-olah ikut andil dalam kasus ini dengan member penjelasan untuk menutupi ataupun menyembunyikan situasi yang sebenarnya dan untuk dapat melarikan diri dari tanggung jawab atas penembakan pada 8 Desember 2014.
Seperti yang kita ketahui, melakukan tindak penganiayaan, penembakan yang mengakibatkan menghilangkan nyawa seseorang adalah termasuk dalam pelanggaran HAM yang berat. Karena setiap manusia memiliki hak untuk hidup dengan bebas dan aman. Seperti yang dibahas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 A  yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Di Papua sendiri terdapat 3 bentuk konflik yaitu:
·         Konflik kelas sosial, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat adanya kesenjangan sosial dan budaya yang ada di masyarakat Papua
·         Konflik rasial, Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
·         Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.
Dari penjelasan tentang apa yang membuat gerakan separatisme di Papua awet dan semakin brutal, dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendasari konflik papua belum berakhir ada empat, yakni:

·         Masalah sejarah integrasi politik Papua ke Indonesia.
·         Bahwa sejarah Integrasi Papua ke Indonesia dilakukan tidak secara sukarela penduduk asli Papua, melainkan dari tekanan pihak militer Indonesia yang memaksa orang-orang Papua yang tergabung dalam Dewan Musyawarah PEPERA untuk memilih bergabung ke dalam wilayah NKRI.
·         Masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Negara selama konflik Papua berlangsung.
·         Masalah marjinalisasi, akibat terbelakangnya segala aspek kehidupan rakyat asli Papua dibandingkan rakyat luar Papua membuat rakyat Papua merasa tersisih
·         Masalah gagalnya implementasi UU OTSUS Papua. Bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak bersungguh-sungguh menyejahterakan kehidupan rakyat Papua.

c.       Penyeleaian Masalah
Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam kategori berat atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk mengupayakan penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan (reparation) hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Jadi usaha penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia harus dilihat sebagai bagian dari langkah memajukan dan melindungi hak asasi manusia secara keseluruhan.
Itulah sasaran penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, sebab tidak ada hak asasi manusia tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Itu sama artinya dengan mengatakan bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila tidak ada langkah kongkrit untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia dan memulihkan tatanan secara keseluruhan. Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice/I.C.J), prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (general principles of law recognized by civilized nations) merupakan salah satu sumber hukum internasional. Tanggung jawab negara sebagai suatu prinsip umum hukum yang dikenal dan diakui dalam hukum internasional juga merupakan salah satu sumber hukum yang berlaku bagi setiap negara[3].
Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Mengenai masalah pelanggaran HAM di Indonesia, Terdapat peraturan terkait pengadilan HAM, dimana Jaksa Agung Berperan sebagai Penyidik,  dan Komnas HAM sebagai Pihak penyelidik, sebenarnya di Indonesia sudah ada peraturan yang kongkrit pada Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Namun perlu upaya nyata dari pemerintah untuk melaksanakan atau menerapkan peraturan tersebut, yang selama ini belum sama sekali dijalankan atau berlangsung sebuah sidang terkait pelanggaran HAM Berat .
Mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat terdapat mekanisme peraturan / sebuah hukum kebiasaan Internasional, dimana suatu negara tidak sanggup menyelesaikan permasalahan HAM secara internal di Negaranya, maka pengadilan HAM internasional berwenang mengambil alih kasus tersebut untuk disidangkan.
Terkait permasalahan pada kasus insiden Paniai tersebut, diperlukan adanya upaya damai, atau mediasi  (ADR) dari berbagai pihak, atau tim pencari fakta (fact finding) dalam sehingga, tidak menimbulkan konflik atau provokasi terhadap masyarakat, karena wilayah Papua merupakan wilayah yang rawan sekali dengan konflik.
Kemudian adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum yang lain, misal tindakan penyidikan oleh polisi militer, guna mencari pelaku penembakan kepada warga sipil tersebut dan dikenai sanksi yang tegas supaya tidak terulang lagi.








BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Hak Asasi Manusi merupakan komponen yang harus ada di kehidupan manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah salah satu indicator yang dapat mendefinisikan kita sebagai manusia. Maka dari itu pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi harus ditindak lanjuti secara serius dan menyeluruh karena menyangkut tingkatann kesejahteraan dan rasa aman pada orang tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus Paniai di Papua adalah salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat karena terjadinya penganiayaan,pembunuhan secara massal dan melakukan pembohongan public atas kasus tersebut agar tidak terseret dalam masalah yang serius. Pelanggaran-pelanggaran seperti harus cepat diselesaikan dan penyelesaiannya tidak serta merta lewat penyelesaian secara adat maupun kekeluargaan karena menyangkut dengan kesejahteraan orang tersebut maka juga harus diselesaikan ssecara hokum yang adil. Agar warga merasa aman dan nyaman dalam melakukan kegiatan sehari-hari.












DAFTAR PUSTAKA











[1] Rhona K.M.S,Njäl H,Christian R,Satya A,Fajrul F, Enny Soeprapto,dkk , Hukum Hak Asasi Manusia,Pushamuii, Yogyakarta, 2008, Hlm 89.
[2] Sumber http://www.papuansbehindbars.org/?p=3393&lang=id (diakses online pada tanggal 17/03/2017; pukul 23:51)
[3] Op.cit,hlm 70