BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia atau HAM
adalah hak-hak yang sudah dipunyai oleh seseorang sejak ia masih dalam
kandungan. Hak asasi manusia dapat berlaku secara universal. Setelah
berakhirnya perang dunia kedua, dibentuklah sebuah organisasi dunia yang dikenal dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), yang bertujuan menjaga kondisi
keamanan dunia, sehingga pada tahun 1948, dicapailah sebuah konsensus terkait
deklarasi universal HAM, isi dari deklarasi tersebut yakni : Hak dan kebebasan
yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak
sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial tiap individu maupun beberapa hak
kolektif. Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam Pasal 29 (1): “Semua
orang memiliki kewajiban kepada masyarakat di mana hanya di dalamnya
perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan”.
Instrumen-instrumen yang dikeluarkan setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi
kewajiban.[1]
1.2 RUMUSAN MASALAH
i.
Definisi
Hak Asasi Manusia (HAM)
ii.
Jenis-jenis
Hak Asasi Manusia
iii.
Jenis
pelanggaran Hak Asasi Manusia
iv.
Contoh
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
1.3 TUJUAN PENULISAN
i.
Mengetahui
pengertian , jenis Hak Asasi Manusia
ii.
Mengetahui
jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia
iii.
Menginformasikan
tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
iv.
Memenuhi
tugas Pendidikan Kewarganegaraan
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 LANDASAN TEORI
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki
setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran akan hak asasi
manusia didasarkan pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk Tuhan
memiliki derajat dan martabat yang sama. Dengan pengakuan akan prinsip dasar
tersebut, setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asai manusia. Jadi
keasadaran akan adanya hak asai manusia tumbuh dari pengakuan manusia sendiri
bahwa mereka adalah sama dan sederajat. Hak asasi manusia wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi
Manusia diatur secara kongkrit dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar
negara. Pemerintah turut meratifikasi, dan menerapkan sebuah peraturan
perundang-undangan terkait perlindungan
dan penegakkan Hak Asasi Manusia, yakni diwujudkan dalam Undang-undang No 39
tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
A. JENIS-JENIS HAK ASASI MANUSIA
i.
Hak-hak
asasi pribadi (Personal Rights) meliputi :
·
Kebebasan
menyatakan pendapat
·
Kebebasan
memeluk agama
·
Kebebasan
bergerak
ii.
Hak-hak
asasi ekonomi (Proporty Rights) meliputi :
·
Kebebasan
memiliki sesuatu,membeli,menjual, serta memanfaatkan
·
Hak
mendapat tujangan hidup bagi orang miskin dan anak terlantar
iii.
Hak-hak
asasi politik (Political Rights) meliputi :
·
Hak
ikut serta dalam pemerintahan
·
Hak
pilih (dipilih dan memilih) dalam pemilihan umum
·
Hak
mendirikan partai politik,ormas,dan organisasi lainnya
iv.
Hak-hak
asasi hokum (Rights of Logal Equality) meliputi :
·
Hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum
·
Hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam pemerintahan
v.
Hak-hak
asasi social dan kebudayaan (Social and Cultural Rights) meliputi :
·
Hak
memperoleh jaminan pendidikan dan kesehatan
·
Hak
mengembangkan kebudayaan
vi.
Hak-hak
asasi dalam tata cara peradilan dan perlindungan (Prosedural Rights) meliputi :
·
Hak
mendapat perlakuan dan tata cara perdilan
·
Hak
perlindungan dalam hal penangkapan, penahanan, penyitaan ,penggeledahan atau
peradilan.
B. JENIS – JENIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Pelanggaran hak asasi
manusia merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas
suatu Negara. Pelanggaran hak asasi manusia berkaitan dengan norma atau
instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, dengan instrumen-instrumen
hukum nasional.Keterkaitan antara instrument internasinal hak asasi manusia
dengan hokum nasional inilah yang membedakan apa yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hokum biasa. di kalangan para
ahli terdapat semacam kesepakatan umum dalam mendefinisikan pelanggaran hak
asasi manusia itu sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang
lahir dari instrument instrumen internasional hak asasi manusia”. Pelanggaran
negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya
sendiri (acts of commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (acts
of ommission). Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak asasi manusia
adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana
dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang
diakui secara internasional”. Inilah yang membedakan
pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hukum biasa.
Jenis-Jenis
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dibedakan berdasarkan :
1.
Pelanggaran
HAM yang berat
Berikut adalah penjelasan mengenai kasus
pelanggaran HAM yang berat :
·
Pembunuhan
secara sewenang-wenang yang tidak mengikuti keputusan
pengadilan dan hukum yang berlaku secara umum.
·
Melakukan
segala bentuk penyiksaan.
·
Melakukan sistem
perbudakan dan diskriminasi secara sistematis.
·
Pembunuhan
secara massal.
·
Menghilangkan
seseorang secara paksa.
2.
Pelanggaran HAM yang ringan
Berikut adalah penjelasan mengenai kasus
pelanggaran HAM yang ringan :
·
Melakukan
penganiayaan.
·
Melakukan
tindakan yang dapat mencemarkan nama baik seseorang.
·
Melakukan
segala bentuk pemukulan.
·
Menghalangi
jalan seseorang untuk menyampaikan aspirasinya.
Dari
pengertian dan pejelasan diatas maka penulis mengambil studi kasus tentang
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang termasuk dalam kasus penggaran HAM
berat karena kasus ini meliputi pembunuhan sewenang-wenang , melakukan
penyiksaan dan pembunuhan missal yang disebabkan oleh perlakuan aparat
kepolisiandan TNI.
A. STUDI KASUS
Bagaimana terjadinya konflik antara penembakan yang terjadi di
Paniai,Papua pada tahun 2014 oleh aparat kepololisian(POLRI) dan TNI kepada
warrga sekitar, serta upaya apa yang dilakukan untuk menghentikan konflik
tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.2 KONFLIK YANG TERJADI PADA
PANIAI
Paniai merupakan salah satu kabupaten di Papua yang berada di ketinggian
1.700 meter di atas permukaan laut. Pada zaman Belanda, Paniai disebut Wissel
Meeren, sesuai dengan nama tiga danau yang terletak di sekitar Kota Enarotali.
Danau ini ditemukan oleh seorang pilot berkebangsaan Belanda, Wissel, pada
tahun 1938. Wilayah Paniai berbatasan dengan Kabupaten Waropen di sebelah
utara, Mimika di sebelah selatan, Nabire di sebelah barat, dan Puncak Jaya di
sebelah timur. Luas wilayahnya 18.104,63 km2 dengan
Enarotali sebagai ibu kotanya. Pada awalnya Papua adalah daerah yang damai,
tidak ada konflik yan terjadi, akan tetapi baru-baru ini terguncang oleh
penembakan dan terror-teror misterius. Awal mulanya Papua melakukan perlawanan
dikarenakan represi militer dan terjadinya keadaan ekonomi yang terus
memperburuk.
a.
Sejarah singkat konflik di Papua
Tahun 1945 saat Indonesia merdeka Indonesia mengklaim seluruh
wilayah Hindia Belanda adalah masuk dalam NKRI, namun saat itu Belanda mengaku
Papua masih merupakan daerah kekuasaanya. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
disepakati salah satu isinya adalah tentang penyerahan kedaulatan atas seluruh
wilayah jajahan Belanda pada Indonesia, kecuali Irian Barat. Tetapi saat itu
pemerintah Indonesia bersikeras untuk mengembalikan Papua ke dalam NKRI.
Kemudian diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda yang
menghasilkan New Yowk Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Inti dari perjanjian itu adalah Belanda akan
menyerahkan Papua ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kemudian
UNTEA akan menyerahkan Papua ke Indonesia selama 6-8 bulan lalu diadakan
referendum, bahwa setiap orang dewasa, laki-laki maupun perempuan asli Papua,
memiliki hak pilih atas referendum tersebut. Hal ini menentukan apakah Papua
akan ikut dengan Indonesia atau lepas dan berdiri sendiri menjadi sebuah
Negara.
Tetapi dalam prakteknya, Act of Free Choice atau
PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang dilakukan tidak dilaksanakan
sesuai aturan Internasional melainkan dengan aturan Indonesia (musyawarah).
Seharusnya jika menurut New York Agreement, PEPERA dilakukan dengan cara one
man one vote tetapi dalam pelaksanaanya dilakukan dengan cara perwakilan
(musyawarah). Hal ini lah yang sampai sekarang disayangkan oleh warga Papua dan
terus menyuarakan ketidakadilan atas hal itu.
Awalnya saat bergabung dengan Indonesia, provinsi
ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan berubah menjadi Irian Jaya
(1973-2001). Nama “Iryan” di perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september
1945, yang dalam bahasa Biak Numfor berarti sinar matahari atau tanah yang
panas (the hot land) barulah oleh presiden Abdul Rahman Wahid pada 1 Januari
2000, nama Provinsi Papua kemudian dilegalkan melalui UU No 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, dan sejak 10 November 2004 dengan
keputusan MahkamahKonstitusi No 018/PUU-I/2003 area ini terdiri dari dua
Provinsi: Provinsi Papua Barat dan Papua yang terdiri dari 29 daerah
pemerintahan dan dua kota praja. Provinsi papua memiliki luas 427,981 km2dan
terletak di koordinat 1300 -1410 lintang timur, dan2,250utara
- 90 selatan.
Sudah dari tahun ke tahuan konflik di Papua dapat dikatakan
sebagai konflik yang terus memanas, sering terjadi bentrokan atau permasalahan
antar suku suatu distrik / wilayah, antara warga local dengan aparat keamanan
Negara seperti tentara, polisi maupun kepala pemerintahan. Untuk kali ini
penulis akan membahas tentang konflik – konflik yang terjadi di Papua tepatnya
di Paniai. Mencuatnya konflik di Papua juga didorong oleh pendekatan keamanan
yang represif. Represif sendiri memiliki arti
suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu
pelanggaran. Atau, merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran
terjadi seperti melakukan penahan,penangkapan. Di kasus kali ini terjadinya
penganiayaan dan penyiksaan oleh aparat militer dan polisi terhadap 3 orang anak warga local yang masi
remaja. Penembakan itu dilatar belakangi oleh penganiayaan yang diduga dilakukan oknum aparat keamanan terhadap sejumlah
pemuda di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, sekitar pukul 00.30. Oknum
aparat tersebut tidak terima ditegur karena melewati tempat itu dengan
mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu. Seorang pemuda harus menjalani
perawatan di rumah sakit akibat terkena pukulan dan tikaman dari anggota
aparat, dan salah seorang lagi kabur melarikan diri untuk mengadukan tindakan
tersebut kepada Sekretaris Distrik (Sekdis)
Paniai Timur.
Pada keesokan harinya Kapolres
Paniai mendatangi tempat kejadian pemukulan dan penganiayaan tersebut. Lalu
penduduk desa setempat menganggap mereka bertanggung jawab atas penyiksaan dan
penganiayaan terhadap tiga anak tersebut, karena mereka menggunakan kendaraan
yang sama dengan kendaraan yang digunakan pada saat malam sebelumnya, dan mulai
melemparkan batu ke polisi. Namun setelah adanya perbincangan dari Bupati
setempat, ketegangan mereda dan penduduk setempat memberhentikan tindakan
mereka.
Tetapi ketegangan terjadi lagi, setidaknya sekitaran 800 warga
berbondong-bondong berkumpul di lapangan Karel Bonay di depan Polres Enarotali
dan Komando Rayon Militer (Koramil) untuk menuntut penjelasan atas kejadian
malam sebelumnya. Para warga melakukan sebuah tarian waita, yaitu tarian
tradisional warga Papua yang digambarkan sebagai rasa kekecewaan serta keluh
kesah mereka. Tetapi tarian tersebut disambut dengan sangat tidak mengenakkan oleh
Komando Rayon Militer (Koramil) Paniai Timur, ia melepaskan tembakan secara
brutal kepada kerumunan warga dan tembakan tersebut diikutsertakan juga oleh
gabungan TNI atau POLRI tanpa ada tembakan peringatan dan tembakan pertama
dikenakan kepada seorang Satpam RSUD Paniai. Wargapun tak dapat membendung
tembakan yang terjadi oleh karena itu mereka berbondong-bondong melarikan diri
ada juga yang memanjat pagar atau bersembunyi. Aksi tersebut seolah-olah member
ruang kepada anggota TNI maupun POLRI untuk terus menembaki secara brutal
kepada warga-warga setempat. Atas aksi tersebut banyak warga yang menjadi
korbannya, ada yang mengalami luka-luka diakibatkan oleh tembakan yang megenai
tangan ataupun kaki, ada juga yang sampai kehilangan nyawanya atas aksi yang
tidak beradab tersebut. Total jumlah korban yang meninggal ada 6 orang serta
yang mengalami luka-luka terdapat 22 orang.
Ada beberapa tanggapan dari kedua belah pihak yang saling bertentangan,
seperti menurut Jenderal Gatot Nurmantyo penembakan itu terjadi dimulai oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari pegunungan sekeliling. Akan tetapi menurut
Dr Otto Nur Abdullah, yang mengepalai tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) yang menyelidiki penembakan pada 8 Desember saat itu, menyatakan bahwa ini adalah mustahil karena gunung-gunung
tersebut letaknya sangat jauh drai tempat kejadian perkara. Menurut dia, bahwa anggota militer dari Timsus 753 yang bertanggung jawab atas
penembakan saat itu.
Pada tanggal 15 Desember, Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) mengatakan kepada media
Indonesia bahwa ketika penyelidikan atas insiden ini sedang berlangsung,
masyarakat setempat Papua sudah membuat kesepakatan dengan militer dan polisi
sesuai dengan cara-cara adat dengan melakukan upacara adat bakar batu. Pemimpin
gereja dan masyarakat setempat mengutuk pengumuman itu dan menyatakan bahwa
memang tidak ada kesepakatan seperti itu dan pernyataan itu hanya meningkatkan
kemarahan lebih lanjut di antara keluarga korban. Kepala Dewan Adat Papua (DAP)
di Paniai, Jhon Gobay, mengatakan kepada Majalah Selangkah bahwa pernyataan
seperti itu mewakili upaya sistematis oleh Negara Indonesia untuk menyembunyikan
situasi dan untuk melepaskan diri dari mengambil tanggung jawab atas penembakan
8 Desember.
Komnas HAM telah meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan
penyelidikan bersama yang terdiri dari tentara, polisi, tokoh-tokoh tradisional
Papua dan Komnas HAM. Human Rights Watch Indonesia dan Imparsial juga meminta
pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan bersama, untuk memastikan
bahwa penyidik dapat mempertanyakan aparat militer yang hadir saat kejadian.
Human Rights Watch juga meminta pemerintah Indonesia untuk melindungi saksi
yang hadir pada penembakan 8 Desember, mencatat bahwa laporan awal oleh Komnas
HAM menunjukkan bahwa saksi “tidak mau bersaksi” karena kekhawatiran akan
kemungkinan pembalasan. Sebuah artikel Suara Papua melaporkan bahwa masyarakat
setempat mengalami trauma akibat penembakan dan bahwa hampir seminggu setelah
peristiwa itu, kehadiran berat anggota aparat keamanan yang bersenjata masih
bisa ditemukan di Enarotali[2].
b.
Pelanggaran yang terjadi
Konflik dapat didefinisikan sebagai relasi yang menggambarkan
ketidaksejalanan sasaran yang dimilik atau yang dirasa oleh dua belah pihak.
Muscat mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu
(triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. onflik
menurutnya ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup
mencolok antar dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam
konflik yang disebabkan oleh politik,
etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan dan ekonomi yang bisa
menggeliminasi kemiskinan.
Sementara William J.Dixon mengkategorikan konflik dalam dua hal
pokok, pertama, konflik timbul dari pengakuan bersama atas kepentingan dan
nilai-nilai dasar yang saling berbenturan; kedua, konflik merupakan gambaran yang
sangat jelas dari hubungan sosial. Konflik yang berlangsung terus menerus dalam
suatu negara bisa disebabkan dengan adanya krisis dalam pemerintahan termasuk
tidak adanya tujuan perdamaian dalam resolusi konflik, kebijakan yang
lumpuh(policy paralysis) dan krisis kemanusiaan yang hebat.
Melalui penjabaran masalah yang sudah dijelaskan tadi dapat diketahui
pelanggaran HAM ini dilakukan oleh aparat Negara (TNI dan POLRI). Serta salah
seorang yang dianggap penting yaitu MENKOPULHAM seolah-olah ikut andil dalam
kasus ini dengan member penjelasan untuk menutupi ataupun menyembunyikan
situasi yang sebenarnya dan untuk dapat melarikan diri dari tanggung jawab atas
penembakan pada 8 Desember 2014.
Seperti yang kita ketahui, melakukan tindak penganiayaan, penembakan yang
mengakibatkan menghilangkan nyawa seseorang adalah termasuk dalam pelanggaran
HAM yang berat. Karena setiap manusia memiliki hak untuk hidup dengan bebas dan
aman. Seperti yang dibahas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 A yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Di Papua sendiri terdapat 3 bentuk konflik yaitu:
·
Konflik
kelas sosial, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat
adanya kesenjangan sosial dan budaya yang ada di masyarakat Papua
·
Konflik rasial,
Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah paham
atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
·
Konflik
politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan
diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di
Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum
elit politik.
Dari penjelasan tentang apa yang membuat gerakan separatisme di
Papua awet dan semakin brutal, dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendasari
konflik papua belum berakhir ada empat, yakni:
·
Masalah
sejarah integrasi politik Papua ke Indonesia.
·
Bahwa
sejarah Integrasi Papua ke Indonesia dilakukan tidak secara sukarela penduduk
asli Papua, melainkan dari tekanan pihak militer Indonesia yang memaksa
orang-orang Papua yang tergabung dalam Dewan Musyawarah PEPERA untuk memilih
bergabung ke dalam wilayah NKRI.
·
Masalah
pelanggaran HAM yang dilakukan Negara selama konflik Papua berlangsung.
·
Masalah marjinalisasi,
akibat terbelakangnya segala aspek kehidupan rakyat asli Papua dibandingkan
rakyat luar Papua membuat rakyat Papua merasa tersisih
·
Masalah
gagalnya implementasi UU OTSUS Papua. Bahwa pemerintah pusat maupun daerah
tidak bersungguh-sungguh menyejahterakan kehidupan rakyat Papua.
c.
Penyeleaian Masalah
Setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dalam kategori berat
atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi negara untuk mengupayakan
penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan (reparation)
hak-hak korban, tetapi juga bagi tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa
depan. Jadi usaha penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia harus dilihat
sebagai bagian dari langkah memajukan dan melindungi hak asasi manusia secara
keseluruhan.
Itulah sasaran penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, sebab
tidak ada hak asasi manusia tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Itu sama
artinya dengan mengatakan bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila tidak
ada langkah kongkrit untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran hak asasi
manusia dan memulihkan tatanan secara keseluruhan. Menurut Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice/I.C.J),
prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (general
principles of law recognized by civilized nations) merupakan salah satu
sumber hukum internasional. Tanggung jawab negara sebagai suatu prinsip umum
hukum yang dikenal dan diakui dalam hukum internasional juga merupakan salah
satu sumber hukum yang berlaku bagi setiap negara[3].
Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam
hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak
antar negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban
internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban
tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan
internasional. Mengenai masalah pelanggaran HAM di Indonesia, Terdapat
peraturan terkait pengadilan HAM, dimana Jaksa Agung Berperan sebagai
Penyidik, dan Komnas HAM sebagai Pihak
penyelidik, sebenarnya di Indonesia sudah ada peraturan yang kongkrit pada
Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Namun perlu upaya nyata
dari pemerintah untuk melaksanakan atau menerapkan peraturan tersebut, yang
selama ini belum sama sekali dijalankan atau berlangsung sebuah sidang terkait
pelanggaran HAM Berat .
Mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat terdapat
mekanisme peraturan / sebuah hukum kebiasaan Internasional, dimana suatu negara
tidak sanggup menyelesaikan permasalahan HAM secara internal di Negaranya, maka
pengadilan HAM internasional berwenang mengambil alih kasus tersebut untuk
disidangkan.
Terkait permasalahan pada kasus insiden Paniai tersebut,
diperlukan adanya upaya damai, atau mediasi
(ADR) dari berbagai pihak, atau tim pencari fakta (fact finding) dalam sehingga, tidak menimbulkan konflik atau
provokasi terhadap masyarakat, karena wilayah Papua merupakan wilayah yang
rawan sekali dengan konflik.
Kemudian adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum yang
lain, misal tindakan penyidikan oleh polisi militer, guna mencari pelaku
penembakan kepada warga sipil tersebut dan dikenai sanksi yang tegas supaya
tidak terulang lagi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Hak Asasi Manusi merupakan komponen yang harus ada di
kehidupan manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah salah satu indicator yang
dapat mendefinisikan kita sebagai manusia. Maka dari itu
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi harus ditindak lanjuti secara serius
dan menyeluruh karena menyangkut tingkatann kesejahteraan dan rasa aman pada
orang tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus Paniai di Papua adalah
salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat karena terjadinya
penganiayaan,pembunuhan secara massal dan melakukan pembohongan public atas
kasus tersebut agar tidak terseret dalam masalah yang serius.
Pelanggaran-pelanggaran seperti harus cepat diselesaikan dan penyelesaiannya
tidak serta merta lewat penyelesaian secara adat maupun kekeluargaan karena
menyangkut dengan kesejahteraan orang tersebut maka juga harus diselesaikan
ssecara hokum yang adil. Agar warga merasa aman dan nyaman dalam melakukan
kegiatan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Rhona K.M.S,Njäl H,Christian R,Satya A,Fajrul F, Enny Soeprapto,dkk , Hukum Hak Asasi Manusia,Pushamuii,
Yogyakarta, 2008, Hlm 89.
[2]
Sumber http://www.papuansbehindbars.org/?p=3393&lang=id
(diakses online pada tanggal 17/03/2017; pukul 23:51)
[3]
Op.cit,hlm 70