HUKUM DAN
PRANATA PEMBANGUNAN
NAMA : FENNY AFRIYANTI (22315619)
Kelas: 3TB04
Dosen: RISWANTI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015/2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Bangunan gedung pada dasarnya dibangun untuk
berbagai macam tujuan tertentu. Dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan dan
menunjang kehidupan manusia. Bangunan gedung didirikan dengan maksut untuk
bekerja, pendidikan, sarana olahraga ataupun kebutuhan yang lain.
Dalam pembangunannya, tidak serta merta langsung
didirikan di suatu tempat, tetapi harus tetap mempertimbangkan berbagai aspek.
Pembangunannya juga sudah diatur dalam dasar hukum yang kuat, yaitu dalam
bentuk undang-undang yang memiliki aturan pelaksanaan berupa peraturan
pemerintah. Peraturan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung yang mulai berlau pada tanggal 16 Desember 2002.
Sebagai aturan pelaksanaannya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung, yang ditetapkan dan mulai berlaku
pada tanggal 10 September 2005.
Pembangunan gedung harus tetap diatur sedemikian
rupa agar tetap memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah.
Dikeluarkan undang-undang untuk mengaturnya karena berbagai aspek pertimbangan,
diantaranya1:
a.
Bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b.
Bahwa
bangunan gedung penting sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya untuk
mencapai berbagai sasaran yang menunjang terwujudnya tujuan pembangunan
nasional;
c.
Bahwa
bangunan gedung harus diselenggarakan secara tertib, diwujudkan sesuai dengan
fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis bangunan
gedung;
d.
Bahwa
agar bangunan gedung dapat terselenggara secara tertib dan terwujud sesuai
dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan upaya pembinaan;
e.
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d di atas perlu membentuk Undang-undang tentang Bangunan Gedung.
Sebagaimana
dijelaskan diatas, pembangunan gedung harus mempertimbangkan berbagai aspek
yang tentunya berguna untuk menyelenggarakan bangunan gedung yang tertib,
diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta tempat dimana manusia melakukan
kegiatan untuk mencapai berbagai sasaran yang menunjang terwujudnya tujuan
pembangunan nasional.
Peraturan dalam membangun
bangunan di Indonesia diatur dalam berbagai macam peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah contohnya adalah Peraturan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung dan juga Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tinjauan di atas, pembangunan gedung
harus memenuhi berbagai aspek yang sudah diatur oleh pemerintah di
undang-undang. Pelaksanaanya juga harus sesuai dengan peraturan yang sudah
ditetapkan dari berbagai aspek yang ada.
Berangkat dari latar belakang yang sudah disebutkan
maka penulis mengangkat sebuah rumusan masalah yaitu:
“Bagaimana
Tinjauan Perkembangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002?”
“Bagaimana Isi tentang
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum?”
.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Bangunan Gedung
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, dalam Pasal 1 dijelaskan
bahwa “Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada
di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat
manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur
fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan
gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada
setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran
masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan
ketentuan penutup.
Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut
dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian
bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang
berperikemanusiaan dan berkeadilan.
2.2.
Fungsi Bangunan Gedung
Bangunan gedung memiliki fungsi yang juga dijelaskan
di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung, berisi:
a. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha,
sosial dan budaya, serta fungsi khusus.
sosial dan budaya, serta fungsi khusus.
b. Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
c. Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
d. Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
e. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.
dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.
f.
Bangunan gedung fungsi
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan
keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.
meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan
keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.
g.
Satu bangunan gedung
dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
Dari poin-poin
yang disebutkan di atas, dapat kita lihat bahwa fungsi-fungsi bangunan gedung dijelaskan
secara terperinci dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung ini.
Yang dimaksud
dalam ayat 2 rumah tinggal sementara adalah bangunan
gedung fungsi hunian yang tidak dihuni secara tetap seperti asrama, rumah tamu, dan sejenisnya.
2.3.
Persyaratan Bangunan Gedung
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung juga dijelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam proses pembangunan bangunan gedung tersebut.
Sebagaimana tercantum di pasal 7, syarat umum
permbangunan bangunan gedung adalah:
a. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
b. Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
c. Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan
keandalan bangunan gedung.
dalam ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan
keandalan bangunan gedung.
d. Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk
bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan
yang berlaku.
bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan
yang berlaku.
e. Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat,
bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan
bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya
setempat.
bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan
bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya
setempat.
Selain persyaratan umum yang tercantum di pasal 7,
terdapat berbagai persyaratan lain yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, syarat-syarat tersebut adalah:
a.
Persyaratan Administratif Bangunan
Gedung : Pasal 8
"Setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a)
Status hak atas tanah, dan/atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b)
Status kepemilikan bangunan gedung; dan
c)
Izin mendirikan bangunan gedung; sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Pasal
8, ayat (4): "Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung,
kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
b.
Persyaratan Tata Bangunan : Pasal 9
i.
Persyaratan tata
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) meliputi persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan
persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
ii.
Persyaratan tata
bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam
rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah.
iii.
Ketentuan mengenai tata
cara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
c.
Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung : Pasal
10-13
Pasal 10 :
i.
Persyaratan peruntukan
dan intensitas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
meliputi persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.
ii.
Pemerintah Daerah wajib
menyediakan dan memberikan informasi secara terbuka tentang persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan gedung bagi masyarakat yang memerlukannya.
Pasal
11 :
i.
Persyaratan peruntukan
lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan tentang tata ruang.
ii.
Bangunan gedung yang
dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana
umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan,
dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.
iii.
Ketentuan mengenai
pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
12 :
i.
Persyaratan kepadatan
dan ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan ketinggian bangunan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.
ii.
Persyaratan jumlah
lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di
bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya
dukung lingkungan yang dipersyaratkan.
iii.
Bangunan gedung tidak
boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian yang ditetapkan pada
lokasi yang bersangkutan.
iv.
Ketentuan mengenai tata
cara perhitungan dan penetapan kepadatan dan ketinggian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13 :
i.
Persyaratan jarak bebas
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi:
·
Garis sempadan bangunan
gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau
jaringan tegangan tinggi;
·
Jarak antara bangunan
gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman
yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.
ii.
Persyaratan jarak bebas
bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan
tanah harus mempertimbangkan batas-batas lokasi, keamanan, dan tidak mengganggu
fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya.
iii.
Ketentuan mengenai
persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
d.
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung : Pasal 14
i.
Persyaratan arsitektur
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi
persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan
adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap
penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.
ii.
Persyaratan penampilan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
iii.
Persyaratan tata ruang dalam bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan fungsi ruang,
arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung.
iv.
Persyaratan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang
luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras
dengan lingkungannya.
v.
Ketentuan mengenai
penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan
bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e.
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan : Pasal 15
i.
Penerapan persyaratan
pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
ii.
Persyaratan
pengendalian dampak lingkungan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f.
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung : Pasal 16
i.
Persyaratan keandalan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), meliputi
persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
ii.
Persyaratan keandalan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan
fungsi bangunan gedung.
g.
Persyaratan Keselamatan : Pasal 17-20
Pasal 17 :
i.
Persyaratan keselamatan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi
persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta
kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan
bahaya petir.
Pasal 18 :
i.
Persyaratan kemampuan
struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan kemampuan struktur
bangunan gedung yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum
dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan mati, serta untuk
daerah/zona tertentu kemampuan untuk mendukung beban muatan yang timbul akibat
perilaku alam.
Pasal 19 :
i.
Pengamanan terhadap
bahaya kebakaran dilakukan dengan sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya,
konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada
bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap
kebakaran.
Pasal 20 :
i.
Pengamanan terhadap
bahaya petir melalui sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (4) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melindungi semua bagian
bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya sambaran petir.
h.
Persyaratan Kesehatan : Pasal
21-25
Pasal 21 :
i.
Persyaratan kesehatan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan sistem
penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung.
Pasal 22 :
i.
Sistem penghawaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang
harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi alami
dan/atau ventilasi buatan.
Pasal 23 :
i.
Sistem pencahayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan pencahayaan yang harus disediakan
pada bangunan gedung melalui pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan,
termasuk pencahayaan darurat.
Pasal 24 :
i.
Sistem sanitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan sanitasi yang harus disediakan di
dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran
air hujan.
Pasal 25 :
i.
Penggunaan bahan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus aman bagi kesehatan pengguna
bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
i.
Persyaratan Kenyamanan : Pasal 26
i.
Persyaratan kenyamanan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi kenyamanan ruang
gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta
tingkat getaran dan tingkat kebisingan.
ii.
Kenyamanan ruang gerak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh
dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan kenyamanan bergerak
dalam ruangan.
iii.
Kenyamanan hubungan antarruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh
dari tata letak ruang dan sirkulasi antarruang dalam bangunan gedung untuk
terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
j.
Persyaratan Kemudahan : Pasal
27-32
Pasal 27 :
i.
Persyaratan kemudahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke,
dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana
dalam pemanfaatan bangunan gedung.
Pasal 28 :
i.
Kemudahan hubungan horizontal
antarruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu dan/atau koridor
antar ruang.
Pasal 29 :
i.
Kemudahan hubungan vertikal
dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi vertikal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan sejenisnya
serta lift dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
Pasal 30 :
i.
Akses evakuasi dalam keadaan
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) harus disediakan di dalam
bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar
darurat, dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana
lainnya, kecuali rumah tinggal.
Pasal 31 :
i.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas
bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.
Pasal 32 :
i.
Kelengkapan prasarana dan
sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) merupakan keharusan bagi
semua bangunan gedung untuk kepentingan umum.
k.
Persyaratan Bangunan Gedung Fungsi
Khusus : Pasal 33.
i.
Persyaratan
administratif dan teknis untuk bangunan gedung fungsi khusus, selain harus
memenuhi ketentuan dalam Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat pada
Bab ini, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis khusus yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Jika kita lihat dari poin-poin di atas, dalam prosesnya
pembangunan sebuah bangunan gedung harus tetap memenuhi semua aspek yang sudah
ditentukan, jika ada yang tidak terpenuhi maka aka nada sanksi yang ditetapkan
bagi penyelenggara pembangunan bangunan gedung tersebut.
Selain mengatur tentang
persyaratan bangunan gedung, UU Bangunan gedung juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban pemilik bangunan.
[1] Aspek Hukum Bangunan Gedung Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun
2002.
https://www.hukumproperti.com/rangkuman-peraturan/aspek-hukum-bangunan-gedung-berdasarkan-undang-undang-nomor-28-tahun-2002/
(diakses pada 17 Oktober 2017).
1.
Pemilik
bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
a.
melaksanakan
pembangunan bangunan gedung setelah mendapatkan pengesahan dari Pemerintah
Daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
b.
mendapatkan
surat ketetapan serta insentif untuk bangunan gedung dan/atau lingkungan yang
dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
c.
mengubah
fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah;
d.
mendapatkan
ganti rugi apabila bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain
yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.
2.
Pemilik
bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
a.
melaksanakan
pembangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung;
b.
memiliki
IMB;
c.
meminta
pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung
pada tahap pelaksanaan bangunan.
3.
Pemilik
dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak yaitu antara lain:
a.
mengetahui
tata cara atau proses penyelenggaraan bangunan gedung;
b.
mendapatkan
keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi
dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
c.
mendapatkan
keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan dan kelayakan bangunan
gedung;
d.
mendapatkan
keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi
dan dilestarikan.
4.
Pemilik
dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban yaitu antara lain:
a.
memanfaatkan
serta memelihara bangunan gedung sesuai dengan fungsinya secara berkala;
b.
melengkapi
petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
c.
membongkar
bangunan gedung yang telah ditetapkan dapat mengganggu keselamatan dan
ketertiban umum serta tidak memiliki perizinan yang disyaratkan.
Peraturan Presiden
(Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan. Definisi tersebut ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden yang
dibuat oleh Presiden mengandung dua makna. Pertama, Peraturan Presiden dibuat
oleh Presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri untuk melaksanakan
Undang-Undang sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan Pemerintah.
Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk mengatur materi
muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga kedudukannya
menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah.
Sedangkan dalam analisa terhadap Peraturan Presiden
No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, sebagai berikut :
1. Tentang kedudukan Peraturan Presiden sebagai suatu sumber hukum ; Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa : “jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah.”
1. Tentang kedudukan Peraturan Presiden sebagai suatu sumber hukum ; Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa : “jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah.”
Memperhatikan ketentuan
dalam undang-undang tersebut, dapat dilihat adanya perbedaan dengan peraturan sebelumnya
yang berkaitan dengan hirarki perundang-undangan, sekurang-kurangnya dalam
ketentuan UU N0. 10 tahun 2004 mengatur, bahwa :
1.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi sumber hukum;
2.Undang-undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang menjadi sejajar atau sederajat;
3.Dikenalnya sumber hukum Peraturan Presiden ( Perpres ).
Berdasarkan ketentuan
pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
Presiden”.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga dari pengertian tersebut dapat juga dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga dari pengertian tersebut dapat juga dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah.
Peraturan Presiden No.
36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, menjadi lebih sering
di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, oleh
Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei
2005.
Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.
Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.
Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 diterbitkan
karena Keputusan Presiden No 55 Tahun 1993 dipandang tidak sesuai lagi sebagai
landasan hokum pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pepres no
36/2005 dinilai bersifat represif dan lebih berpihak pada pihak swasta/investor
daripada Keppres no 55/1993.
2.4.
Peran Masyarakat
Setelah mengetahui
berbagai fungsi dan persyaratan dalam pembangunan bangunan gedung, peran serta
masyarakat juga perlu diwujudkan dalam penyelenggaran bangunan gedung. Peran
tersebut sebagaimana tertera di pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung adalah:
a.
Memantau dan menjaga
ketertiban penyelenggaraan.
b.
Memberi masukan kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di
bidang bangunan gedung.
dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di
bidang bangunan gedung.
c.
Menyampaikan pendapat dan
pertimbangan kepada instansi yang
berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan dan
lingkungan, rencana teknis bangunan gedung tertentu, dan kegiatan
penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan dan
lingkungan, rencana teknis bangunan gedung tertentu, dan kegiatan
penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
d.
Melaksanakan gugatan
perwakilan terhadap bangunan gedung yang
mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan
umum.
mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan
umum.
Jika kita melihat dan membaca poin-poin diatas maka
masyarakat diharap juga memiliki peran aktif untuk mengawasi, memberikan
masukan, menyampaikan pendapat, dan melaksanakan gugatan jika pembangunan
gedung dinilai dapat merugikan atau membahayakan kepentingan umum.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Dalam
pelaksanaannya, pembangunan sebuah bangunan gedung harus mempertimbangkan
berbagai aspek, baik dari aspek izin, aspek keselamatan, kenyamanan dan
berbagai aspek lainnya. Jika salah satu dari aspek yang saling berhubungan satu
sama lain tersebut tidak terpenuhi maka dalam perjalannya bangunan gedung
tersebut akan menuai banyak masalah.
Segala macam
pengertian, fungsi, persyaratan, sanksi dan poin penting lainnya sudah tertera
di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung, tinggal bagaimana penyelenggara pembangunan gedung dapat
mengaplikasikan berbagai peraturan yang sudah tertera sangat jelas dan
terperinci di dalamnya. Dan Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Tujuan dari adanya
hukum pembangunan di Indonesia adalah:
a. Mewujudkan
bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang
serasi dan selaras dengan lingkungannya.
b. Mewujudkan
tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan
gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
c. Mewujudkan
kepastian hokum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Bagi masyarakat,
peran serta dalam pembangunan bangunan gedung ini juga harus tetap aktif. Cara
yang bisa dilakukan adalah memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan
pembangunan, memberi masukan kepada pemerintah tentang penyempurnaan peraturan
bangunan gedung, maupun melaksanakan gugatan jika dalam perjalanannya bangunan
gedung mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
BAB IV
DAFTAR PUSAKA
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”)
Peraturan Presiden
No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.