TUGAS MATA KULIAH
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
TINJAUAN TENTANG UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN
NAMA :
FENNY AFRIYANTI (22315619)
Kelas: 3TB04
Dosen: RISWANTI
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015/2016
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu Penulisan makalah adalah merupakan salah satu
tugas dari matakuliah Hukum dan Pranata Pembangunan. Dengan ini saya harap dengan pembuatan
makalah ini dapat memenuhi tugas yang telah diberikan.
Dalam Penulisan makalah ini saya merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang saya
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi saya sendiri dan bagi para pembacanya. Akhir kata saya berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.
Jakarta, 20 November 2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... 1
BAB 1.............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN………………………………………………………………………….….. 3
BAB 2.............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN........................................................................................................................... 4
BAB 3............................................................................................................................................ 22
KESIMPULAN.......................................................................................................................... 22
BAB 4............................................................................................................................................ 23
PENUTUP.................................................................................................................................. 23
BAB 5............................................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 24
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkesinambungan dan
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara dengan maksud
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia seperti yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang – Undang Dasar 1945.
Berdasarkan aspek
kehidupan masyarakat bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang
merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu
upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan
produktif;
Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengen-dalian pemanfaatan
ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Oleh karena itu Negara
bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta
menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman,
harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.
Isi tentang UU no. 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman
2.
Kebijakan tentang rumah susun
3.
Hukum Perikatan
1.3. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk memenuhi apa
saja isi dari UU yang mengatur tentang Perumahan dan Permukiman, serta apa saja
kebijakan pemerintah yang melandasinya. Untuk mengetahui fenomena apa saja yang
terjadi saat ini. Serta memahami tentang segala macam proses terjadinya
perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. UU NO. 4 TAHUN 1992
Hakikat dari pembangunan
nasional adalah pembangunan manusia serta pembangunan seluruh masyarakat.
Pembangunan nasional sendiri harus dilaksanakan swecara merata pada setiap
Negara, termasuk Negara Indonesia yang mayoritasnya sebagai bangsa yang
memiliki keberagaman suku dan budaya. Tujuan dari pembangunan nasional adalah
untuk mewujudkan tujuan nasional Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa
serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Kebutuhan dasar manusia meliputi tempat tinggal atau permukiman
yang peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian
bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Pengertian dari permukiman sendiri adalah perumahan dan atau sebaliknya pemukiman berasal dari kata housing dalam
bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human
settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang
rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan
menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land
settlement. Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan
pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman
menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia
(human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling
melengkapi (Kurniasih, 2007).
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi
kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata
ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang
dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan. Penyelenggaraan
pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi
ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan
usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Undang-Undang No. 4 Tahun
1992 membahas tentang Perumahan dan Pemukiman. Perumahan . Permukiman merupakan
kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan
demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan
semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam
menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati
dirinya.
Untuk mewujudkan permukiman yang layak, sehat, aman dan serasi
serta berlandaskan pancasila, peningkatan dan pengembangan pembangunan
perumahan perlu diupayakan. Untuk itu dibuatlah UU NO 4 TAHUN 1992 yang
mengatur tentang perumahan dan permukiman. Undang-undang ini terdiri dari 42
pasal yang terbagi dalam 8 bab. Berikut ini adalah penjelasan singkat undang -
undang tersebut tiap bab-nya :
Bab 1, KETENTUAN UMUM (pasal 1dan 2), dalam bab ini dijelaskan
mengenai rumah,perumahan,permukiman dsb dan tentang lingkup peraturan.
Bab 2, ASAS DAN TUJUAN (pasal 3 dan 4) menjelaskan tentang tujuan
penataan perumahan dan permukiman.
Bab 3, PERUMAHAN ( pasal 5 - 17) menjelaskan aturan –
aturan tentang hak dan kewajiban warga negara dalam pembangunan
perumahan.
Bab 4, PERMUKIMAN (pasal 18 -28) menjelaskan bahwa rencana tata
ruang ditetapkan oleh pemerintah daerah, pemerintah memberi bimbingan dan
bantuan kepada masyarakat dalam pengawasan bangunan untuk meningkatkan kualitas
permukiman.
Bab 5, PERAN SERTA MASYARAKAT (pasal 29) berisi tentang hak dan
kewajiban yangg sama bagi tiap warga negara dalam pembangunan.
Bab 6, PEMBINAAN (pasal 30-35) menjelaskan bahwa pemerintah
melakukan pembinaan agar masyarakat menggunakan teknologi tepat guna.
Bab 7, KETENTUAN PIDANA (pasal 36-37) berisi tentang sanksi yang
diterima bila melakukan pelanggaran terhadap peraturan - peraturan di atas.
Bab 8, KETENTUAN LAIN LAIN (pasal 38-40) mengatur tentang
pencabutan badan usaha yang melakukan pelanggaran atas pasal - pasal di atas.
Isi dari Bab 3, Perumahan adalah
Pasal 5
·
Setiap warga negara
mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang
layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Pasal 6
·
Kegiatan pembangunan
rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
·
Setiap orang atau badan yang
membangun rumah atau perumahan wajib :
a.
mengikuti persyaratan
teknis, ekologis dan administratif ;
b.
melakukan pemantauan
lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;
c.
melakukan pengelolaan
lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
Pasal 8
· Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakan wajib
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat tinggal atau hunian ;
b. mengelola dan
memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan
badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan
untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian,
pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara
diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Pemerintah
melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan
permukiman
Pasal 12
Penghunian rumah
oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
Pasal 13
Pemerintah
mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari
pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan
dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 15
Pemilikan rumah
dapat dijadikan jaminan utang.
Pasal 16
Pemilikan rumah
dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan
hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Peralihan hak
milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Contoh dari pengaplikasian UU No. 4 Tahun 1992 :
- Ancaman dari UU Pemukiman
DPR didesak menunda pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perumahan dan Permukiman (Perkim) yang
akan merevisi UU No.4 Tahun 1992 tentang Perkim. Pasalnya, draf revisi UU
Perkim ini tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat dalam mengakses fasilitas
perumahan sebagai hak dasar yang dijamin dalam konstitusi.
Hal itu dinyatakan Ketua Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) M Johansyah Siregar dalam Diskusi Kajian RUU Perkim di Jakarta.
Jehansyah berpendapat, draf RUU Perkim yang terdiri dari 18 bab dan 133 pasal seperti ajang proyek perumahan, bukan dalam kerangka pengembangan sistem penyediaan perumahan.
Menurutnya, draf RUU ini hanya berisi perencanaan, rancangan rumah dan jenis-jenis rumah yang bisa dibangun, tapi tidak jelas siapa atau lembaga mana yang bertugas menjalankan peranan pokok dan fungsinya.
"Isi UU semacam itu bisa diinterpretasikan sebagai sebuah landasan untuk menjustifikasi terbalik karena hanya bersifat project oriented" katanya.
Selain itu, kata dia, isi revisi
UU 4 Tahun 1992 itu juga banyak bertentangan dengan arsitektur UU Perumahan yang berlaJcu secarauniversal sehingga berpotensi kian mengerdilkan peran lembaga perumahan dan membuat semrawut tata ruang perkotaan.
Jika DPR tetap mengesahkan RUU tersebut pada tahun ini, para praktisi dan pengamat perumahan mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan pasar yang kian melebar di segmen rumah sejahtera bagi rakyat berpenghasilan rendah. RUU Perkim ini diklaim hanya mewakili kepentingan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakariajuga khawatir jika RUU Perkim disahkan bisa memberangus kewenangan Perum Perumnas, salah satu BUMN sebagai penyedia perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Fuad menegaskan, jika pemerintah memiliki political will dalam menanggulangi masalah kelangkaan ketersediaan fasilitas perumahan, solusi yang paling ideal dengan memberdayakan Perum Perumnas.
Sebab, sebagai entitas bisnis yang sudah ada sejak lama. Perumnas dipastikan telah menguasai segmen usaha yang akan menopang target penyediaan rumah.
Hal itu dinyatakan Ketua Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) M Johansyah Siregar dalam Diskusi Kajian RUU Perkim di Jakarta.
Jehansyah berpendapat, draf RUU Perkim yang terdiri dari 18 bab dan 133 pasal seperti ajang proyek perumahan, bukan dalam kerangka pengembangan sistem penyediaan perumahan.
Menurutnya, draf RUU ini hanya berisi perencanaan, rancangan rumah dan jenis-jenis rumah yang bisa dibangun, tapi tidak jelas siapa atau lembaga mana yang bertugas menjalankan peranan pokok dan fungsinya.
"Isi UU semacam itu bisa diinterpretasikan sebagai sebuah landasan untuk menjustifikasi terbalik karena hanya bersifat project oriented" katanya.
Selain itu, kata dia, isi revisi
UU 4 Tahun 1992 itu juga banyak bertentangan dengan arsitektur UU Perumahan yang berlaJcu secarauniversal sehingga berpotensi kian mengerdilkan peran lembaga perumahan dan membuat semrawut tata ruang perkotaan.
Jika DPR tetap mengesahkan RUU tersebut pada tahun ini, para praktisi dan pengamat perumahan mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan pasar yang kian melebar di segmen rumah sejahtera bagi rakyat berpenghasilan rendah. RUU Perkim ini diklaim hanya mewakili kepentingan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakariajuga khawatir jika RUU Perkim disahkan bisa memberangus kewenangan Perum Perumnas, salah satu BUMN sebagai penyedia perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Fuad menegaskan, jika pemerintah memiliki political will dalam menanggulangi masalah kelangkaan ketersediaan fasilitas perumahan, solusi yang paling ideal dengan memberdayakan Perum Perumnas.
Sebab, sebagai entitas bisnis yang sudah ada sejak lama. Perumnas dipastikan telah menguasai segmen usaha yang akan menopang target penyediaan rumah.
- Kasiba
(Kawasan Siap Bangun)
Yang
terkandung dalam UU No.4 tahun 1992 adalah sebuah kawasan yang telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dalam skala besar.Dari segi pengembang
Kasiba kurang menguntungkan karena memerlukan investasi yang besar.
- Kasus
dua janda pahlawan, Ibu Soetarti dan Ibu Rusmini
Mengalami
kasus dengan Lembaga Pegadaian dan digugat dengan pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN
1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam
pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau
denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000"dituduh menempati rumah dinas yang
bukan menjadi hak milik Ibu Roestati dan Ibu Rusmini lagi karena sang suami
telah meninggal dunia yang terletak di Jaatinegara ,Jakarta Timur.Sedangkan isi
pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada
persetujuan atau izin pemilik"
2.2. KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN
Rumah susun merupakan bangunan berbentuk gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan dimana terdiri dari
bagian-bagian struktur secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan sistem pengelolaan yang
menganut konsep kebersamaan.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang
jumlah penduduknya terus meningkat. Jakarta adalah kota yang banyak
diperuntukan sebagai rumah susun. Berbanding dengan penduduk yang semakin
meningkat, lahan di Jakarta sama sekali tidak bertambah sehingga perlu
diadakannya pembangunan tempat tinggal vertikal seperti rumah susun.
Menurut UU
No.20 Tahun 2011 tentang rumah susun
pasal 1 menyatakan bahwa rumah susun
merupakan bangunan gedung bertingkat yang
dibangun di suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah
horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan satuan yang masing-masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama.Rumah susun dapat dibangun diatas tanah. Hak
Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) diatas tanah
negara ; dan HGB atau HP diatas tanah Hak Pengelolaan (HPL).
Dengan kata lain, rumah susun dibangun
oleh pemerintah maupun pengembang dengan
menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Menurut Pasal 2 dan 3 UURS, No 16 Tahun 1985 tujuan pembangunan
rumah susun adalah sebagai berikut :
Pasal 2
Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas
kesejahteraan umum keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan
dalam perikehidupan.
Pasal 3
Pembangunan rumah susun bertujuan untuk :
1. Memenuhi
kebutuhan perumahaan yang layak bagi masyarakat, terutama golongan masyarakat
yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya
2. Meningkatkan
daya guna dan hasil guna tanah didaerah perkotaan dengan memperhatikan
kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang
lengkap, serasi dan seimbang.
3. Memenuhi
kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat
dengan tetap mengutamakan ketentuan.
Rumah susun harus memiliki syarat-syarat seperti
rumah biasa yakni dapat menjadi tempat berlindung, memberikan rasa aman,
menjadi wadah sosialisasi dan memberikan suasana nyaman dan harmonis bagi
penghuninya.
SISTEM KEPEMILIKAN RUMAH SUSUN DAN MASALAH HUKUM PEMBELI
RUMAH SUSUN
A.
Kepemilikan
·
Kepemilikan
Bersama, yang dimiliki secara bersama-sama secara proporsional dengan
para pemilik lainnya pada Rumah Susun tersebut, yang terdiri dari :
·
Tanah
bersama, adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama
secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri Rumah Susun dan ditetapkan
batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Yang dapat dijadikan tanah bersama
dalam pembangunan rumah susun adalah tanah-tanah yang berstatus/bersertifikat
hak milik, HGB atau hak pakai.Mengingat penyelenggara pembangunan (pengembang)
berbadan hukum, maka tanah bersama itu akan bersertifikat induk HGB, yang
nantinya HGB tersebut tidak dipecah tetapi akan diberi keterangan bahwa HGB
tersebut telah melahirkan beberapa sertifikat hak milik satuan Rumah Susun (SHM
Sarusun) dan tidak dapat dialihkan atau dijaminkan.
·
Bagian
bersama, adalah bagian Rumah Susun (melekat pada struktur bangunan ) yang
dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan
Fungsi dengan satuan Rumah Susun. Contoh, fondasi, atap, lobi, lift, saluran
air, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi.
·
Benda
bersama, adalah benda yang bukan merupakan bagian Rumah Susun (tidak
melekat pada struktur bangunan), tetapi dimiliki bersama secara tidak terpisah
untuk pemakaian bersama. Contoh, tanah, tempat parkir, kolam renang yang di
luar struktur, dan lain-lain.
·
Kepemilikan
Perseorangan, adalah hak kepemilikan atas unit Sarusun ruangan dalam bentuk
geometrik tiga dimensi yang dibatasi oleh dinding dan digunakan secara terpisah
atau tidak secara bersama-sama. Adapun dinding yang menopang struktur bangunan
merupakan bagian bersama, hak ini akan tergambar dalam pertelaan Rumah Susun
tersebut dan luas/ukuran unit sarusun akan diuraikan dalam SHM sarusun-nya.
Pada poin ini, Anda harus berhati-hati karena untuk pre-project selling luas
ukuran belum diketahui secara pasti.
B.
Pengelolaan
Menurut
peraturan perundangan, para pihak yang terlibat dalam pembangunan dan
pengelolaan Rumah Susun adalah:
1. Penyelenggaraan
pembangunan, dalam hal ini Pengembang;
2.
Perhimpunan penghuni, yang akan dibentuk para penghuni (owner
unit) dengan dibantu oleh penyelenggara pembangunan dan dituangkan dalam
suatu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang wajib dipatuhi oleh para
penghuni/pemilik;
3.
Badan Pengelola, yang akan ditunjuk oleh perhimpunan
penghuni untuk mengelola Rumah Susun tersebut dengan upah dan biaya-biaya
yang akan disetujui oleh Rapat Umum Anggota Perhimpunan penghuni. Badan
pengelola ini dapat saja dibentuk oleh perhimpunan sendiri, tetapi
lazimnya pengelolaan diserahkan kepada Properti manajemen yang profesional;
4.
Penghuni, dalam hal ini para pemilik unit sarusun yang akan
menjadi anggota Perhimpunan Penghuni dan memiliki hak suara dalam menentukan
jalannya pengelolaan.
Konsekuensi
dari adanya hak bersama, tentunya ada pula kewajiban bersama untuk menjaga,
merawat, dan mengoperasikan benda-benda/bagian-bagian bersama tersebut. Oleh
karenanya, kewajiban para penghuni untuk menanggung biaya yang meliputi:
1.
Biaya Pengelolaan (Service Charge), sebaiknya nilainya
ditentukan di muka oleh pengembang dan dicantumkan dalam PPJB. Nantinya dapat
berubah sesuai dengan kebutuhan setelah Perhimpunan Penghuni definitif
terbentuk, Dipergunakan oleh Badan Pengelola untuk mengoperasikan Rumah Susun
tersebut, termasuk untuk membayar gaji-gaji pegawai Badan Pengelola;
2.
Dana Cadangan (Sinking Fund), yang akan dipergunakan untuk
perbaikan-perbaikan besar Rumah Susun. Contoh, pengecatan (re-painting), lift
atau penggantian/up grade M/E, dan lain-lain;
3.
Rekening-rekening, dibayarkan untuk penggunaan masing-masing
unit, meliputi listrik, air, dan telepon.
Hal-hal
semacam di atas tidak dikenal dalam kepemilikan/pengelolaan Single House. Yang
perlu diperhatikan dalam memilih untuk membeli Apartemen, di antaranya:
·
Lokasi, apakah cukup prospektif atau berkembang sehingga masih
berpeluang untuk adanya kenaikan harga? (Jika Anda ingin berinvestasi);
·
Bukti kepemilikan tanah oleh pengembang harus sudah ada pada saat
dipasarkan;
·
Izin lokasi (SIPPT jika di DKI Jakarta) untuk memastikan
peruntukan tanahnya agar izin-izin lainnya dipastikan dapat diterbitkan oleh
instansi yang berwenang;
·
Bonafiditas, pengembang termasuk pengalaman pengembang beserta tim
konsultannya, untuk meyakinkan Anda bahwa proyek Apartemen itu tidak asal jadi;
·
Draft perjanjian. Mintalah draft PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual
Beli) pada saat Anda membayar angsuran I. Pelajari dengan teliti hal-hal yang
dapat merugikan Anda, khususnya luas ukuran unit, tanggal serah terima, denda
keterlambatan, spesifikasi, serta pemutusan sepihak.
Jika terdapat
hal-hal yang kurang cocok, dapat dinegosiasikan dengan pengembang.
Permasalahan hukum yang dialami para pembeli rumah susun (Rusun)
timbul dari hal-hal sebagai berikut:
·
Pada saat membeli Rusun umumnya para pembeli buta sekali terhadap
undang-undang atau hukum yang berlaku bagi Rusun;
·
Para pembeli menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB)
yang menyimpang, yang mengandung banyak klausul baku yang sebenarnya dilarang
oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena pembeli telah
menandatangani PPJB yang panjang lebar, tulisan kecil, didesak kenaikan harga,
dan tidak boleh dibawa pulang itu, akibatnya penjual selalu memakai PPJB itu
sebagai alat paksa kepada para pembeli. Akibat selanjutnya para pembeli menjadi
terhalang untuk menjalankan haknya sebagai konsumen;
·
PPJB yang benar harusnya tidak mengandung peraturan maupun sanksi
tentang hal-hal yang berhubungan dengan penghunian maupun pengelolaan Rusun
nantinya. PPJB yang menyimpang sebenarnya batal demi hukum, namun yang demikian
itu pun para pembeli tidak tahu;
·
Karena para pembeli buta hukum, mereka tidak tahu bahwa mereka
wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun
(PPPSRS) seperti tertera pada Pasal 74 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun;
·
Dalam UU Rumah Susun itu PPPSRS diberi status Badan Hukum, sebagai
representasi yang sah secara hukum dari seluruh pemilik dan penghuni untuk
menjalankan segala sesuatunya buat kepentingan bersama, di luar Rapat Umum
Anggota. Jadi ada kekosongan dalam kesadaran hukum tentang Rusun di kalangan
para pembeli.
Ketidaksadaran hukum para pembeli ini dimanfaatkan oleh penjual
Rusun atau pelaku pembangunan dengan cara sebagai berikut:
1. Meski Pasal 75 Ayat (1)
UU Rumah Susun mengatakan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi
terbentuknya PPPSRS (hanya memfasilitasi), tetapi ia malah membentuk dan
menguasai PPPSRS yang dibentuk secara di luar prosedur hukum. Ini menjadi
kenyataan yang berlangsung selama puluhan tahun dan diakui oleh para pemilik;
2. Pelaku pembangunan
membuat aturan tata tertib Rapat Umum, menyelenggarakan Rapat Umum Anggota, dan
mengesahkan AD/ART, padahal secara hukum yang boleh menyelenggarakan Rapat Umum
Pembentukan PPPSRS hanyalah para pemilik yang sekaligus sebagai penghuni Rusun.
Para penghuni non-pemilik oleh undang-undang tidak diberikan hak suara memilih
dan dipilih dalam Rapat Pembentukan PPPSRS karena mereka bukan pemilik;
3. Pelaku pembangunan atau
penjual, apabila masih punya unit yang belum dijual, secara hukum ia hanya
berstatus pemilik atas unitnya seperti halnya para pembeli. Tidak ada pasal
yang mengatakan bahwa penjual boleh membentuk PPPSRS, karena hak suaranya hanya
satu;
4. Yang menyedihkan lagi,
Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui tangan Dinas Perumahan dan Gedung
mengesahkan dan mengakui adanya PPPSRS, tata tertib Rapat Umum, dan AD/ART
bentukan penjual atau pelaku pembangunan yang nyata-nyata merugikan posisi
hukum para pembeli. Pengesahan oleh Pemda ini selalu menjadi senjata pamungkas
bagi penjual Rusun atau pelaku pembangunan bila ada pembeli yang melakukan protes
kepadanya;
5. Dalam AD/ART yang
disahkan itu biasanya mengandung tiga penyimpangan undang-undang yang sangat
nyata, antara lain yakni a) Kepemilikan hak suara dalam Rapat Umum didasarkan
atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Dengan demikian siapa yang kaya,
banyak punya unit, memiliki hak suaranya lebih dari yang punya hanya satu unit;
b) Penggunaan hak suara dapat diwakilkan dengan cara memberi surat kuasa; c)
Penyelewengan hukum atas Pasal 74 Ayat (1) UU Rumah Susun yang berbunyi,
'Pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS' dengan menambahkan kata 'terutama' di
depan kalimat asli ayat tersebut menjadi 'Terutama pemilik Sarusun wajib
membentuk PPPSRS'. Dengan penambahan kata 'terutama' itu akibatnya siapa saja
wajib membentuk PPPSRS; d) Keadaan lemahnya posisi hukum para pembeli ini lebih
diberatkan lagi dengan aksi penjual untuk menunda pemecahan sertifikat
kepemilikan untuk memungkinkan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) yang kemudian
harus disusul Balik Nama kepemilikan.Karena mundurnya waktu pemindahan hak ini
kemudian pelaku pembangunan masih bisa mendaftarkan Rusun yang telah dilunasi
para pembeli sebagai miliknya dalam penghitungan aset dalam laporan keuangan
dalam Penawaran Umum Perdana maupun Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Karena
tertundanya pengalihan hak milik (dalam sertfikat) yang sangat mungkin
disengaja penjual, pembeli yang telah membayar lunas dikatakan bukan pemilik
karena tidak memiliki sertifikat. KUHPerdata mengatur bahwa pembeli yang telah
membayar lunas barang yang dibeli ia dinyatakan sebagai pemilik sah atas barang
yang dibeli. Ini merujuk pada KUH Perdata Pasal 1474, 1475, 1477, dan 1482;
6. Para pemilik telah
membuat protes dan meminta kebenaran ditegakkan tetapi sampai sekarang belum
berhasil karena pemerintah belum membantu dan tetap mengakui pelaku pembangunan
sebagai pemilik PPPSRS, tata tertib Rapat serta AD ART yang dibuat pelaku
pembangunan;
7. Para pemilik yang sadar
hukum berupaya susah payah membentuk PPPSRS secara taat tetapi sampai sekarang
belum disahkan atau diakui keberadaannya oleh pemerintah.Dinas Perumahan
pura-pura berlaku tidak memihak dengan cara menjadi penengah antara PPPSRS
milik pelaku pembangunan dan PPPSRS asli milik para pemilik Rusun. Sebenarnya
pemerintah mestinya menjadi eksekutor hukum bukan menjadi penengah antara si
pelanggar hukum melawan pihak yang taat Hukum. Sangat menyedihkan bahwa para
oknum pemegang kekuasaan eksekutif sepertinya berpihak kepada pelanggar hukum
dan tidak mengusahakan penegakan hukum seperti seharusnya;
8. Para pembeli, karena
kurang tahu hukum, biasanya tidak mempermasalahkan dasar penyimpangan hukumnya
tetapi hanya keberatan atas akibatnya yang langsung mengenai dirinya seperti:
a) Tampilnya pengelola menjadi penguasa di Rusun mewakili pelaku pembangunan.
Memang undang-undang mewajibkan pelaku pembangunan melakukan pengelolaan Rusun
paling lama satu tahun dalam masa transisi, sebelum PPPSRS terbentuk. Tetapi
setelah itu ia wajib mengalihkan hak pengelolaan kepada representasi para
pemilik atau gabungan pemilik yaitu PPPSRS; b) Pengelola atas nama pelaku
pembangunan selalu secara sepihak menaikkan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan
(IPL) tanpa berkonsultasi dengan para pemilik.
9. Sebagai gambaran, di
kawasan yang telah diatur para pemilik sendiri seperti Menara Latumeten dan
Gading Icon, IPL hanya sebesar Rp7.000/m2/bulan tetapi di kawasan yang masih
dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan kebanyakan IPL sebesar antara Rp16.000
sampai Rp20.000/m2/bulan. Bahkan di Thamrin City dan Plaza Kenari Mas, IPL
sebesar Rp60.000/m2/bulan. Di Menara Latumeten dan Gading Icon, penghuni
membayar listrik dan air sebesar tarif resmi pemerintah, tetapi di kawasan lain
yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan harga itu ditambah sebesar 37
sampai 50 persen. Sinking fund yang seharusnya tidak boleh
dipakai karena sebagai dana cadangan untuk perbaikan besar malah dipakai oleh
pengelola atas nama pengembang. Dari situasi ini Menara Latumeten dan Gading
Icon memiliki saldo cukup besar (miliaran rupiah) sedangkan di kawasan lain
selalu defisit. Bahkan di ITC Mangga Dua dikabarkan bahwa PPPSRS yang dibentuk
pengembang berutang Rp100 miliar, yang harus ditanggung para pemilik.
10. Di banyak kawasan yang
dikelola pelaku pembangunan, pertanggungjawaban penggunaan uang pemilik dan
penghuni tidak pernah dilakukan, meski dituntut para pemilik. Beberapa pemilik
yang memprotes penyimpangan hukum ini, ada yang malah dimatikan listrik dan
airnya sampai sekarang selama lebih setahun. Pemilik ini pernah menggugat
pelaku pembangunan karena ukuran unitnya lebih kecil dari yang yang tertera
dalam sertifikat, dan ia dimenangkan hakim serta uang pembeliannya sebagian
harus dikembalikan oleh penjual. Modus pemadaman listrik dan air ini terjadi di
mana-mana. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa yang berwenang atas listrik
adalah negara karena merupakan kebutuhan pokok vital masyarakat.
11. Masih banyak lagi macam
kasus penyelewengan hukum, misalnya, status tanah dimana Rusun berdiri juga
tidak pernah dibuka penjual. Pembeli baru terkaget-kaget 20 tahun kemudian pada
saat SHBG harus diperpanjang. Tahunya tanah dimana Rusun dibangun adalah tanah
pemerintah yang hanya dipinjam pakai oleh pelaku pembangunan. Dapatlah kita
bayangkan kesulitan para pemilik dan penghuni Rusun yang berstatus belum
merdeka di negara merdeka berdasar hukum ini.
Sebenarnya dengan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK
terhadap anggota DPRD DKI Jakarta dan petinggi pengembang besar, terus terang
seperti memberi harapan kepada para pembeli Rusun yang telah lama merana.
Tetapi kami hanya bisa menunggu perkembangan proses di KPK. Yang terendus KPK
baru puncak gunung es pelanggaran hukum yang muncul di permukaan, sedangkan
yang di bawah permukaan, amat sangat lebih besar.
2.3. HUKUM PERIKATAN
- PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu.
Menurut para ahli hokum perikatan adalah :
- Menurut Salim HS, Pengertian
Hukum Perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya
di dalam suatu bidang yang tertentu (harta kekayaan), yang di mana subjek
hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang
lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
- Pengertian Hukum
Perikatan Menurut Subekti adalah
suatu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau dua pihak, yang di
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Perikatan sendiri merupakan suatu
pengertian yang abstrak.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang
dimaksudkan dengan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.
II.
DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat
tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia.
Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
:”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”
a.
Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di
atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ). Dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan.
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan.
III.
ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN
- Asas Kebebasan
Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
a.
Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
b.
Para pihak
harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan
kehendak bebas para pihak
- Asas
Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
a. menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan
tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi
perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
b. kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat perjanjian
- Asas Kepribadian : 1315 dan 1340
KUHPerdata.
Pengecualian : 1792 KUHPerdata; 1317 KUHPerdata
Perluasannya : Ps. 1318 KUHPerdata. - Asas Pacta Suntservanda; asas kepastian
hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
a. semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·
Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
·
Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
·
Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
·
Menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping
ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan
nasional, yaitu :
1. Asas kepercayaan;
2. Asas persamaan hukum;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan;
8. Asas perlindungan;
IV.
PERATURAN HUKUM PERIKATAN
Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata dari
pasal 1233-1456 KUH Perdata.Buku III KUH Perdata bersifat :
a. Terbuka, maksudnya
perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asal tidak bertentangan dengan
undang- undang.
b. Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.
c. Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.
b. Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.
c. Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.
V.
PENGHAPUSAN HUKUM PERKAITAN
Pasal 1381 BW menyebutkan bahwa hapusnya
Perikatan adalah :
1. Karena pembayaran.
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3. Karena pembaharuan utang. Contoh : A kredit uang dibank, setelah 2 tahun dia tidak bias membayar, karena pailit atau what ever ? maka bank melakukan pembaharuan utang.
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. Contoh : A utang pada B, tetapi A punya piutang pada C jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar. Maka utangnya dialihkan.
5. Karena percampuran utang.
6. Karena pembebasan utangnya.
7. Karena musnahnya barang yang terutang. Contoh : kredit motor, tetapi akhirnya motor tersebut hilang sebelum lunas, maka kalau dulu langsung bebas, tetapi sekarang harus dicicil.
8. Karena kebatalan atau pembatalan. Contoh : dalam hutang piutang yang jumlahnya terlalu besar maka hakim dapat melakukan pembatalan.
9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini.
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri. Contoh : perjanjian hutang gadai.
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3. Karena pembaharuan utang. Contoh : A kredit uang dibank, setelah 2 tahun dia tidak bias membayar, karena pailit atau what ever ? maka bank melakukan pembaharuan utang.
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. Contoh : A utang pada B, tetapi A punya piutang pada C jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar. Maka utangnya dialihkan.
5. Karena percampuran utang.
6. Karena pembebasan utangnya.
7. Karena musnahnya barang yang terutang. Contoh : kredit motor, tetapi akhirnya motor tersebut hilang sebelum lunas, maka kalau dulu langsung bebas, tetapi sekarang harus dicicil.
8. Karena kebatalan atau pembatalan. Contoh : dalam hutang piutang yang jumlahnya terlalu besar maka hakim dapat melakukan pembatalan.
9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini.
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri. Contoh : perjanjian hutang gadai.
VI.
PERSYARATAN PERIKATAN
Syarat sahnya suatu perikatan
syarat untuk sahnya suatu perikatan:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya.
Yang dimaksudkan dengan sepakat adalah bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat,
setuju atas hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.
2. Cakap
untuk mengadakan suatu perjanjian Yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah cakap para pihak menurut hukum, yaitu orang yang
sudah dewasa dan sehat akal pikirannya. Adapun
orang-orang yang tidak cakap menurut hukum dengan mengacu
pada ketentuan pasal 1330 KUHPer adalah:
a. Belum dewasa
b. Berada di bawah pengampuan
c. pihak lain yang dilarang oleh UU
3. Tentang
hal tertentu Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
bahwa dalam suatu perjanjian, haruslah ada apa yang
dijanjikan sehingga perjanjian itu melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat.
4. Klausa
yang halal Isi perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat.
- MENGENAI
UNDANG UNDANG
Sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang. Undang-undang dapat dibagi menjadi:
a. Undang-Undang Melulu
b. Undang-Undang dan perbuatan manusia (Perbuatan yang
menurut hukum dan Perbuatan yang melawan hukum).
DASAR HUKUM BEDASARKAN
KUH PERDATA
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela (zaakwaarneming)
SUMBER PERIKATAN
BEDASARKAN UNDANG - UNDANG
1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata)
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata)
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata)
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
BAB III
KESIMPULAN
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana
kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses
bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan
dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Berdasarkan Undang-Undang no. 4 tahun 1992, saya me-resume bahwa :
·
Rumah adalah bangunan
yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga
;
·
Perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan ;
·
Permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan ;
Setiap individu/kelompok mempunyai hak untuk menempati, menikmati
dan memiliki rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur
dan juga berkewajiban untuk berperan dalam pembangunan dan perumahan dan
pemukiman. Setiap individu dan kelompok wajib mengikuti syarat dna pertaturan yang
berlaku dalam memanfaatkan pembangunan perumahan dan permukiman berdasarkan
undang-undang yang telah ditetapkan. Hal ini di laksananakan agar adanya
keseimbangan terhadap lingkungan dan juga agar tercipta suasana pemukiman dan
perumahan yang kondusif.
Hukum perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi di dalam lapangan harta kekayaan yang sudah melalui perjanjian, yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.
Sumber hukum perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian
yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak
sedangkan perjanjian adalah suatu yang bersifat kongkrit. Karena itu, perikatan
dan perjanjian memiliki keterkaitan.
BAB IV
PENUTUP
Demikian
yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Semoga makalah ini berguna bagi saya maupun yang membacanya
Semoga makalah ini berguna bagi saya maupun yang membacanya
BAB V
DAFTAR PUSTAKA