Selasa, 21 November 2017

TINJAUAN TENTANG UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN

TUGAS MATA KULIAH HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN

TINJAUAN TENTANG UNDANG – UNDANG DAN PERATURAN PEMBANGUNAN

NAMA            : FENNY AFRIYANTI (22315619)
Kelas: 3TB04
Dosen: RISWANTI


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015/2016


 




Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dari matakuliah Hukum dan Pranata Pembangunan. Dengan ini saya harap dengan pembuatan makalah ini dapat memenuhi tugas yang telah diberikan.
Dalam Penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi saya sendiri dan bagi para pembacanya. Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Jakarta, 20 November 2017













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... 1
BAB 1.............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN………………………………………………………………………….….. 3
BAB 2.............................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN........................................................................................................................... 4
BAB 3............................................................................................................................................ 22
KESIMPULAN.......................................................................................................................... 22
BAB 4............................................................................................................................................ 23
PENUTUP.................................................................................................................................. 23
BAB 5............................................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 24













BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia seperti yang terkandung dalam Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
Berdasarkan aspek kehidupan masyarakat bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif; 
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengen-dalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Oleh karena itu Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.      Isi tentang UU no. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
2.      Kebijakan tentang rumah susun
3.      Hukum Perikatan
1.3.  TUJUAN
     Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi apa saja isi dari UU yang mengatur tentang Perumahan dan Permukiman, serta apa saja kebijakan pemerintah yang melandasinya. Untuk mengetahui fenomena apa saja yang terjadi saat ini. Serta memahami tentang segala macam proses terjadinya perjanjian.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.   UU NO. 4 TAHUN 1992
Hakikat dari pembangunan nasional adalah pembangunan manusia serta pembangunan seluruh masyarakat. Pembangunan nasional sendiri harus dilaksanakan swecara merata pada setiap Negara, termasuk Negara Indonesia yang mayoritasnya sebagai bangsa yang memiliki keberagaman suku dan budaya. Tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan tujuan nasional Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Kebutuhan dasar manusia meliputi tempat tinggal atau permukiman yang peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Pengertian dari permukiman sendiri adalah perumahan dan atau sebaliknya pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan  kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih, 2007).
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan. Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 membahas tentang Perumahan dan Pemukiman. Perumahan . Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Untuk mewujudkan permukiman yang layak, sehat, aman dan serasi serta berlandaskan pancasila, peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan perlu diupayakan. Untuk itu dibuatlah UU NO 4 TAHUN 1992 yang mengatur tentang perumahan dan permukiman. Undang-undang ini terdiri dari 42 pasal yang terbagi dalam 8 bab. Berikut ini adalah penjelasan singkat undang - undang tersebut tiap bab-nya :
Bab 1, KETENTUAN UMUM (pasal 1dan 2), dalam bab ini dijelaskan mengenai rumah,perumahan,permukiman dsb dan tentang lingkup peraturan.
Bab 2, ASAS DAN TUJUAN (pasal 3 dan 4) menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan permukiman.
Bab 3, PERUMAHAN ( pasal 5 - 17) menjelaskan aturan – aturan  tentang hak dan kewajiban warga negara dalam pembangunan perumahan.
Bab 4, PERMUKIMAN (pasal 18 -28) menjelaskan bahwa rencana tata ruang ditetapkan oleh pemerintah daerah, pemerintah memberi bimbingan dan bantuan kepada masyarakat dalam pengawasan bangunan untuk meningkatkan kualitas permukiman.
Bab 5, PERAN SERTA MASYARAKAT (pasal 29) berisi tentang hak dan kewajiban yangg sama bagi tiap warga negara dalam pembangunan.
Bab 6, PEMBINAAN (pasal 30-35) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan pembinaan agar masyarakat menggunakan teknologi tepat guna.
Bab 7, KETENTUAN PIDANA (pasal 36-37) berisi tentang sanksi yang diterima bila melakukan pelanggaran terhadap peraturan - peraturan di atas.
Bab 8, KETENTUAN LAIN LAIN (pasal 38-40) mengatur tentang pencabutan badan usaha yang melakukan pelanggaran atas pasal - pasal di atas.

Isi dari Bab 3, Perumahan adalah
Pasal 5
·        Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Pasal 6
·        Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
·        Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a.       mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;
b.      melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;
c.       melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.
Pasal 8
·     Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakan wajib
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal atau hunian ;
            b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
           Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
           Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 11
           Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan di bidang perumahan dan permukiman


Pasal 12
           Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
Pasal 13
           Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari pemerintah.
Pasal 14
           Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 15
           Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
Pasal 16
           Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
           Peralihan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Contoh dari pengaplikasian UU No. 4 Tahun 1992 :

  1. Ancaman dari UU Pemukiman

              DPR didesak menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perumahan dan Permukiman (Perkim) yang akan merevisi UU No.4 Tahun 1992 tentang Perkim. Pasalnya, draf revisi UU Perkim ini tidak mencerminkan rasa keadilan rakyat dalam mengakses fasilitas perumahan sebagai hak dasar yang dijamin dalam konstitusi.
Hal itu dinyatakan Ketua Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman dari Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) M Johansyah Siregar dalam Diskusi Kajian RUU Perkim di Jakarta.
Jehansyah berpendapat, draf RUU Perkim yang terdiri dari 18 bab dan 133 pasal seperti ajang proyek perumahan, bukan dalam kerangka pengembangan sistem penyediaan perumahan.
Menurutnya, draf RUU ini hanya berisi perencanaan, rancangan rumah dan jenis-jenis rumah yang bisa dibangun, tapi tidak jelas siapa atau lembaga mana yang bertugas menjalankan peranan pokok dan fungsinya.
"Isi UU semacam itu bisa diinterpretasikan sebagai sebuah landasan untuk menjustifikasi terbalik karena hanya bersifat project oriented" katanya.
Selain itu, kata dia, isi revisi
UU 4 Tahun 1992 itu juga banyak bertentangan dengan arsitektur UU Perumahan yang berlaJcu secarauniversal sehingga berpotensi kian mengerdilkan peran lembaga perumahan dan membuat semrawut tata ruang perkotaan.
Jika DPR tetap mengesahkan RUU tersebut pada tahun ini, para praktisi dan pengamat perumahan mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan pasar yang kian melebar di segmen rumah sejahtera bagi rakyat berpenghasilan rendah. RUU Perkim ini diklaim hanya mewakili kepentingan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakariajuga khawatir jika RUU Perkim disahkan bisa memberangus kewenangan Perum Perumnas, salah satu BUMN sebagai penyedia perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Fuad menegaskan, jika pemerintah memiliki political will dalam menanggulangi masalah kelangkaan ketersediaan fasilitas perumahan, solusi yang paling ideal dengan memberdayakan Perum Perumnas.
Sebab, sebagai entitas bisnis yang sudah ada sejak lama. Perumnas dipastikan telah menguasai segmen usaha yang akan menopang target penyediaan rumah.
  1. Kasiba (Kawasan Siap Bangun) 
Yang terkandung dalam UU No.4 tahun 1992 adalah sebuah kawasan yang telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dalam skala besar.Dari segi pengembang Kasiba kurang menguntungkan karena memerlukan investasi yang besar.
  1. Kasus dua  janda pahlawan, Ibu Soetarti dan Ibu Rusmini
Mengalami kasus dengan Lembaga Pegadaian dan digugat dengan pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN 1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000"dituduh menempati rumah dinas yang bukan menjadi hak milik Ibu Roestati dan Ibu Rusmini lagi karena sang suami telah meninggal dunia yang terletak di Jaatinegara ,Jakarta Timur.Sedangkan isi pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik"



2.2.      KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN

            Rumah susun merupakan bangunan berbentuk gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan dimana terdiri dari bagian-bagian struktur secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dengan sistem pengelolaan yang menganut konsep kebersamaan.
            Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat. Jakarta adalah kota yang banyak diperuntukan sebagai rumah susun. Berbanding dengan penduduk yang semakin meningkat, lahan di Jakarta sama sekali tidak bertambah sehingga perlu diadakannya pembangunan tempat tinggal vertikal seperti rumah susun. 
Menurut UU  No.20  Tahun 2011  tentang  rumah  susun  pasal  1 menyatakan  bahwa  rumah  susun  merupakan  bangunan  gedung bertingkat  yang  dibangun  di  suatu  lingkungan  yang  terbagi  dalam bagian bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat  hunian  yang dilengkapi  dengan  bagian  bersama,  benda bersama, dan tanah bersama.Rumah susun dapat dibangun diatas tanah. Hak Milik (HM), Hak Guna  Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) diatas tanah negara ; dan HGB atau HP diatas tanah Hak Pengelolaan (HPL).
            Dengan  kata  lain,  rumah  susun  dibangun  oleh  pemerintah maupun  pengembang  dengan  menggunakan  dana  Anggaran Pendapatan  dan  Belanja  Negara  (APBN)  dan  atau  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
           
Menurut Pasal 2 dan 3 UURS, No 16 Tahun 1985 tujuan pembangunan rumah susun adalah sebagai berikut :
Pasal 2
Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan.

Pasal 3
Pembangunan rumah susun bertujuan untuk :
1.      Memenuhi kebutuhan perumahaan yang layak bagi masyarakat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya
2.      Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah didaerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
3.      Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan.
Rumah susun harus memiliki syarat-syarat seperti rumah biasa yakni dapat menjadi tempat berlindung, memberikan rasa aman, menjadi wadah sosialisasi dan memberikan suasana nyaman dan harmonis bagi penghuninya.

SISTEM KEPEMILIKAN RUMAH SUSUN DAN MASALAH HUKUM PEMBELI RUMAH SUSUN
A. Kepemilikan
·         Kepemilikan Bersama, yang dimiliki secara bersama-sama secara proporsional dengan para pemilik lainnya pada Rumah Susun tersebut, yang terdiri dari :
·         Tanah bersama, adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Yang dapat dijadikan tanah bersama dalam pembangunan rumah susun adalah tanah-tanah yang berstatus/bersertifikat hak milik, HGB atau hak pakai.Mengingat penyelenggara pembangunan (pengembang) berbadan hukum, maka tanah bersama itu akan bersertifikat induk HGB, yang nantinya HGB tersebut tidak dipecah tetapi akan diberi keterangan bahwa HGB tersebut telah melahirkan beberapa sertifikat hak milik satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan tidak dapat dialihkan atau dijaminkan.
·         Bagian bersama, adalah bagian Rumah Susun (melekat pada struktur bangunan ) yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan Fungsi dengan satuan Rumah Susun. Contoh, fondasi, atap, lobi, lift, saluran air, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi.
·         Benda bersama, adalah benda yang bukan merupakan bagian Rumah Susun (tidak melekat pada struktur bangunan), tetapi dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Contoh, tanah, tempat parkir, kolam renang yang di luar struktur, dan lain-lain.
·         Kepemilikan Perseorangan, adalah hak kepemilikan atas unit Sarusun ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi yang dibatasi oleh dinding dan digunakan secara terpisah atau tidak secara bersama-sama. Adapun dinding yang menopang struktur bangunan merupakan bagian bersama, hak ini akan tergambar dalam pertelaan Rumah Susun tersebut dan luas/ukuran unit sarusun akan diuraikan dalam SHM sarusun-nya. Pada poin ini, Anda harus berhati-hati karena untuk pre-project selling luas ukuran belum diketahui secara pasti.

B. Pengelolaan
Menurut peraturan perundangan, para pihak yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan Rumah Susun adalah:
1.      Penyelenggaraan pembangunan, dalam hal ini Pengembang;
2.      Perhimpunan penghuni, yang akan dibentuk para penghuni (owner unit) dengan dibantu oleh penyelenggara pembangunan dan dituangkan dalam suatu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang wajib dipatuhi oleh para penghuni/pemilik;
3.      Badan Pengelola, yang akan ditunjuk oleh perhimpunan penghuni untuk mengelola Rumah Susun tersebut dengan upah dan biaya-biaya yang akan disetujui oleh Rapat Umum Anggota Perhimpunan penghuni. Badan pengelola ini dapat saja dibentuk oleh perhimpunan sendiri, tetapi lazimnya pengelolaan diserahkan kepada Properti manajemen yang profesional;
4.      Penghuni, dalam hal ini para pemilik unit sarusun yang akan menjadi anggota Perhimpunan Penghuni dan memiliki hak suara dalam menentukan jalannya pengelolaan.
Konsekuensi dari adanya hak bersama, tentunya ada pula kewajiban bersama untuk menjaga, merawat, dan mengoperasikan benda-benda/bagian-bagian bersama tersebut. Oleh karenanya, kewajiban para penghuni untuk menanggung biaya yang meliputi:
1.      Biaya Pengelolaan (Service Charge), sebaiknya nilainya ditentukan di muka oleh pengembang dan dicantumkan dalam PPJB. Nantinya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan setelah Perhimpunan Penghuni definitif terbentuk, Dipergunakan oleh Badan Pengelola untuk mengoperasikan Rumah Susun tersebut, termasuk untuk membayar gaji-gaji pegawai Badan Pengelola;
2.      Dana Cadangan (Sinking Fund), yang akan dipergunakan untuk perbaikan-perbaikan besar Rumah Susun. Contoh, pengecatan (re-painting), lift atau penggantian/up grade M/E, dan lain-lain;
3.      Rekening-rekening, dibayarkan untuk penggunaan masing-masing unit, meliputi listrik, air, dan telepon.
Hal-hal semacam di atas tidak dikenal dalam kepemilikan/pengelolaan Single House. Yang perlu diperhatikan dalam memilih untuk membeli Apartemen, di antaranya:
·         Lokasi, apakah cukup prospektif atau berkembang sehingga masih berpeluang untuk adanya kenaikan harga? (Jika Anda ingin berinvestasi);
·         Bukti kepemilikan tanah oleh pengembang harus sudah ada pada saat dipasarkan;
·         Izin lokasi (SIPPT jika di DKI Jakarta) untuk memastikan peruntukan tanahnya agar izin-izin lainnya dipastikan dapat diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
·         Bonafiditas, pengembang termasuk pengalaman pengembang beserta tim konsultannya, untuk meyakinkan Anda bahwa proyek Apartemen itu tidak asal jadi;
·         Draft perjanjian. Mintalah draft PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) pada saat Anda membayar angsuran I. Pelajari dengan teliti hal-hal yang dapat merugikan Anda, khususnya luas ukuran unit, tanggal serah terima, denda keterlambatan, spesifikasi, serta pemutusan sepihak.
Jika terdapat hal-hal yang kurang cocok, dapat dinegosiasikan dengan pengembang.
Permasalahan hukum yang dialami para pembeli rumah susun (Rusun) timbul dari hal-hal sebagai berikut:
·         Pada saat membeli Rusun umumnya para pembeli buta sekali terhadap undang-undang atau hukum yang berlaku bagi Rusun;
·         Para pembeli menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) yang menyimpang, yang mengandung banyak klausul baku yang sebenarnya dilarang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena pembeli telah menandatangani PPJB yang panjang lebar, tulisan kecil, didesak kenaikan harga, dan tidak boleh dibawa pulang itu, akibatnya penjual selalu memakai PPJB itu sebagai alat paksa kepada para pembeli. Akibat selanjutnya para pembeli menjadi terhalang untuk menjalankan haknya sebagai konsumen;
·         PPJB yang benar harusnya tidak mengandung peraturan maupun sanksi tentang hal-hal yang berhubungan dengan penghunian maupun pengelolaan Rusun nantinya. PPJB yang menyimpang sebenarnya batal demi hukum, namun yang demikian itu pun para pembeli tidak tahu;
·         Karena para pembeli buta hukum, mereka tidak tahu bahwa mereka wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) seperti tertera pada Pasal 74 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
·         Dalam UU Rumah Susun itu PPPSRS diberi status Badan Hukum, sebagai representasi yang sah secara hukum dari seluruh pemilik dan penghuni untuk menjalankan segala sesuatunya buat kepentingan bersama, di luar Rapat Umum Anggota. Jadi ada kekosongan dalam kesadaran hukum tentang Rusun di kalangan para pembeli.
Ketidaksadaran hukum para pembeli ini dimanfaatkan oleh penjual Rusun atau pelaku pembangunan dengan cara sebagai berikut:
1.      Meski Pasal 75 Ayat (1) UU Rumah Susun mengatakan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS (hanya memfasilitasi), tetapi ia malah membentuk dan menguasai PPPSRS yang dibentuk secara di luar prosedur hukum. Ini menjadi kenyataan yang berlangsung selama puluhan tahun dan diakui oleh para pemilik;
2.      Pelaku pembangunan membuat aturan tata tertib Rapat Umum, menyelenggarakan Rapat Umum Anggota, dan mengesahkan AD/ART, padahal secara hukum yang boleh menyelenggarakan Rapat Umum Pembentukan PPPSRS hanyalah para pemilik yang sekaligus sebagai penghuni Rusun. Para penghuni non-pemilik oleh undang-undang tidak diberikan hak suara memilih dan dipilih dalam Rapat Pembentukan PPPSRS karena mereka bukan pemilik;
3.      Pelaku pembangunan atau penjual, apabila masih punya unit yang belum dijual, secara hukum ia hanya berstatus pemilik atas unitnya seperti halnya para pembeli. Tidak ada pasal yang mengatakan bahwa penjual boleh membentuk PPPSRS, karena hak suaranya hanya satu;
4.      Yang menyedihkan lagi, Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui tangan Dinas Perumahan dan Gedung mengesahkan dan mengakui adanya PPPSRS, tata tertib Rapat Umum, dan AD/ART bentukan penjual atau pelaku pembangunan yang nyata-nyata merugikan posisi hukum para pembeli. Pengesahan oleh Pemda ini selalu menjadi senjata pamungkas bagi penjual Rusun atau pelaku pembangunan bila ada pembeli yang melakukan protes kepadanya;
5.      Dalam AD/ART yang disahkan itu biasanya mengandung tiga penyimpangan undang-undang yang sangat nyata, antara lain yakni a) Kepemilikan hak suara dalam Rapat Umum didasarkan atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Dengan demikian siapa yang kaya, banyak punya unit, memiliki hak suaranya lebih dari yang punya hanya satu unit; b) Penggunaan hak suara dapat diwakilkan dengan cara memberi surat kuasa; c) Penyelewengan hukum atas Pasal 74 Ayat (1) UU Rumah Susun yang berbunyi, 'Pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS' dengan menambahkan kata 'terutama' di depan kalimat asli ayat tersebut menjadi 'Terutama pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS'. Dengan penambahan kata 'terutama' itu akibatnya siapa saja wajib membentuk PPPSRS; d) Keadaan lemahnya posisi hukum para pembeli ini lebih diberatkan lagi dengan aksi penjual untuk menunda pemecahan sertifikat kepemilikan untuk memungkinkan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) yang kemudian harus disusul Balik Nama kepemilikan.Karena mundurnya waktu pemindahan hak ini kemudian pelaku pembangunan masih bisa mendaftarkan Rusun yang telah dilunasi para pembeli sebagai miliknya dalam penghitungan aset dalam laporan keuangan dalam Penawaran Umum Perdana maupun Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Karena tertundanya pengalihan hak milik (dalam sertfikat) yang sangat mungkin disengaja penjual, pembeli yang telah membayar lunas dikatakan bukan pemilik karena tidak memiliki sertifikat. KUHPerdata mengatur bahwa pembeli yang telah membayar lunas barang yang dibeli ia dinyatakan sebagai pemilik sah atas barang yang dibeli. Ini merujuk pada KUH Perdata Pasal 1474, 1475, 1477, dan 1482;
6.      Para pemilik telah membuat protes dan meminta kebenaran ditegakkan tetapi sampai sekarang belum berhasil karena pemerintah belum membantu dan tetap mengakui pelaku pembangunan sebagai pemilik PPPSRS, tata tertib Rapat serta AD ART yang dibuat pelaku pembangunan;
7.      Para pemilik yang sadar hukum berupaya susah payah membentuk PPPSRS secara taat tetapi sampai sekarang belum disahkan atau diakui keberadaannya oleh pemerintah.Dinas Perumahan pura-pura berlaku tidak memihak dengan cara menjadi penengah antara PPPSRS milik pelaku pembangunan dan PPPSRS asli milik para pemilik Rusun. Sebenarnya pemerintah mestinya menjadi eksekutor hukum bukan menjadi penengah antara si pelanggar hukum melawan pihak yang taat Hukum. Sangat menyedihkan bahwa para oknum pemegang kekuasaan eksekutif sepertinya berpihak kepada pelanggar hukum dan tidak mengusahakan penegakan hukum seperti seharusnya;
8.      Para pembeli, karena kurang tahu hukum, biasanya tidak mempermasalahkan dasar penyimpangan hukumnya tetapi hanya keberatan atas akibatnya yang langsung mengenai dirinya seperti: a) Tampilnya pengelola menjadi penguasa di Rusun mewakili pelaku pembangunan. Memang undang-undang mewajibkan pelaku pembangunan melakukan pengelolaan Rusun paling lama satu tahun dalam masa transisi, sebelum PPPSRS terbentuk. Tetapi setelah itu ia wajib mengalihkan hak pengelolaan kepada representasi para pemilik atau gabungan pemilik yaitu PPPSRS; b) Pengelola atas nama pelaku pembangunan selalu secara sepihak menaikkan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) tanpa berkonsultasi dengan para pemilik.
9.      Sebagai gambaran, di kawasan yang telah diatur para pemilik sendiri seperti Menara Latumeten dan Gading Icon, IPL hanya sebesar Rp7.000/m2/bulan tetapi di kawasan yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan kebanyakan IPL sebesar antara Rp16.000 sampai Rp20.000/m2/bulan. Bahkan di Thamrin City dan Plaza Kenari Mas, IPL sebesar Rp60.000/m2/bulan. Di Menara Latumeten dan Gading Icon, penghuni membayar listrik dan air sebesar tarif resmi pemerintah, tetapi di kawasan lain yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan harga itu ditambah sebesar 37 sampai 50 persen. Sinking fund yang seharusnya tidak boleh dipakai karena sebagai dana cadangan untuk perbaikan besar malah dipakai oleh pengelola atas nama pengembang. Dari situasi ini Menara Latumeten dan Gading Icon memiliki saldo cukup besar (miliaran rupiah) sedangkan di kawasan lain selalu defisit. Bahkan di ITC Mangga Dua dikabarkan bahwa PPPSRS yang dibentuk pengembang berutang Rp100 miliar, yang harus ditanggung para pemilik.
10.  Di banyak kawasan yang dikelola pelaku pembangunan, pertanggungjawaban penggunaan uang pemilik dan penghuni tidak pernah dilakukan, meski dituntut para pemilik. Beberapa pemilik yang memprotes penyimpangan hukum ini, ada yang malah dimatikan listrik dan airnya sampai sekarang selama lebih setahun. Pemilik ini pernah menggugat pelaku pembangunan karena ukuran unitnya lebih kecil dari yang yang tertera dalam sertifikat, dan ia dimenangkan hakim serta uang pembeliannya sebagian harus dikembalikan oleh penjual. Modus pemadaman listrik dan air ini terjadi di mana-mana. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa yang berwenang atas listrik adalah negara karena merupakan kebutuhan pokok vital masyarakat.
11.  Masih banyak lagi macam kasus penyelewengan hukum, misalnya, status tanah dimana Rusun berdiri juga tidak pernah dibuka penjual. Pembeli baru terkaget-kaget 20 tahun kemudian pada saat SHBG harus diperpanjang. Tahunya tanah dimana Rusun dibangun adalah tanah pemerintah yang hanya dipinjam pakai oleh pelaku pembangunan. Dapatlah kita bayangkan kesulitan para pemilik dan penghuni Rusun yang berstatus belum merdeka di negara merdeka berdasar hukum ini.
Sebenarnya dengan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap anggota DPRD DKI Jakarta dan petinggi pengembang besar, terus terang seperti memberi harapan kepada para pembeli Rusun yang telah lama merana. Tetapi kami hanya bisa menunggu perkembangan proses di KPK. Yang terendus KPK baru puncak gunung es pelanggaran hukum yang muncul di permukaan, sedangkan yang di bawah permukaan, amat sangat lebih besar.

2.3.     HUKUM PERIKATAN
  1. PENGERTIAN HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Menurut para ahli hokum perikatan adalah :
  • Menurut Salim HSPengertian Hukum Perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya di dalam suatu bidang yang tertentu (harta kekayaan), yang di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
  • Pengertian Hukum Perikatan Menurut Subekti adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau dua pihak, yang di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Perikatan sendiri merupakan suatu pengertian yang abstrak.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.
     II.          DASAR HUKUM PERIKATAN
     Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
            Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia.
 Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia

3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ). Dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan.


   III.         ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN
  • Asas Kebebasan Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
a.       Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
b.      Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak
  • Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
a.       menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
b.      kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian
  •  Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
         Pengecualian : 1792 KUHPerdata; 1317 KUHPerdata
         Perluasannya : Ps. 1318 KUHPerdata.
  •  Asas Pacta Suntservanda; asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
a.       semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·      Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·      Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
·      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
·      Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.      Asas kepercayaan;
2.      Asas persamaan hukum;
3.      Asas keseimbangan;
4.      Asas kepastian hukum;
5.      Asas moral;
6.      Asas kepatutan;
7.      Asas kebiasaan;
8.      Asas perlindungan;

  IV.         PERATURAN HUKUM PERIKATAN
Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata dari pasal 1233-1456 KUH Perdata.Buku III KUH Perdata bersifat :
a. Terbuka, maksudnya perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asal tidak bertentangan dengan undang- undang.
b. Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.
c. Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.

     V.         PENGHAPUSAN HUKUM PERKAITAN
Pasal 1381 BW menyebutkan bahwa hapusnya Perikatan adalah :
1. Karena pembayaran.
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3. Karena pembaharuan utang. Contoh : A kredit uang dibank, setelah 2 tahun dia tidak bias membayar, karena pailit atau what ever ? maka bank melakukan pembaharuan utang.
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. Contoh : A utang pada B, tetapi A punya piutang pada C jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar. Maka utangnya dialihkan.
5. Karena percampuran utang.
6. Karena pembebasan utangnya.
7. Karena musnahnya barang yang terutang. Contoh : kredit motor, tetapi akhirnya motor tersebut hilang sebelum lunas, maka kalau dulu langsung bebas, tetapi sekarang harus dicicil.
8. Karena kebatalan atau pembatalan. Contoh : dalam hutang piutang yang jumlahnya terlalu besar maka hakim dapat melakukan pembatalan.
9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini.
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri. Contoh : perjanjian hutang gadai.

  VI.         PERSYARATAN PERIKATAN
Syarat sahnya suatu perikatan  syarat untuk sahnya suatu perikatan:
 1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya.     Yang dimaksudkan dengan sepakat adalah bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian     itu harus sepakat, setuju atas hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.
2. Cakap untuk mengadakan suatu perjanjian     Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cakap para pihak menurut hukum, yaitu orang yang     sudah dewasa dan sehat akal pikirannya. Adapun orang-orang yang tidak cakap menurut    hukum dengan mengacu pada ketentuan pasal 1330 KUHPer adalah:        a. Belum dewasa        b. Berada di bawah pengampuan        c. pihak lain yang dilarang oleh UU
3. Tentang hal tertentu     Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa dalam suatu perjanjian, haruslah ada apa yang     dijanjikan sehingga perjanjian itu melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang     terlibat.
4. Klausa yang halal     Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di     masyarakat.

  1. MENGENAI UNDANG UNDANG
Sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang. Undang-undang dapat dibagi menjadi:
a. Undang-Undang Melulu
b. Undang-Undang dan perbuatan manusia (Perbuatan yang menurut hukum dan Perbuatan yang melawan hukum).
DASAR HUKUM BEDASARKAN KUH PERDATA

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming)

SUMBER PERIKATAN BEDASARKAN UNDANG - UNDANG

1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata)
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata)
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

3. Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata)
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.












BAB III
KESIMPULAN
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Berdasarkan Undang-Undang no. 4 tahun 1992, saya me-resume bahwa :
·           Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga ;
·           Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan ;
·           Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan ;
Setiap individu/kelompok mempunyai hak untuk menempati, menikmati dan memiliki rumah layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur dan juga berkewajiban untuk berperan dalam pembangunan dan perumahan dan pemukiman. Setiap individu dan kelompok wajib mengikuti syarat dna pertaturan yang berlaku dalam memanfaatkan pembangunan perumahan dan permukiman berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Hal ini di laksananakan agar adanya keseimbangan terhadap lingkungan dan juga agar tercipta suasana pemukiman dan perumahan yang kondusif.
Hukum perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di dalam lapangan harta kekayaan yang sudah melalui perjanjian, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Sumber hukum perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu yang bersifat kongkrit. Karena itu, perikatan dan perjanjian memiliki keterkaitan.

BAB IV
PENUTUP
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Semoga makalah ini berguna bagi
saya maupun yang membacanya



















BAB V
DAFTAR PUSTAKA